Soekarno, presiden pertama RI, meninggal di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD), Jakarta Pusat, 21 Juni 1970. Proklamator Kemerdekaan RI tersebut dirawat di RSPAD sejak 16 Juni 1970 karena menderita penyakit ginjal dan perdarahan. Saat mengembuskan napas terakhir, Bung Karno didampingi antara lain Guntur, Megawati, Rachmawati, Sukmawati, dan Guruh, serta para menantu dan tim dokter yang merawatnya.
Selamat Jalan Bung Karno
Minggu pagi, 21 Juni 1970, Indonesia berduka. ”Sang Putra Fajar”, Bung Karno, mengembuskan napas terakhir di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD), Jakarta, sekitar pukul 07.00. Bung Karno sudah tak sadarkan diri sejak pukul 03.50. Saat-saat terakhir itu Bung Karno didampingi anak-anaknya, yaitu Guntur, Megawati, Rachmawati, Sukmawati, Guruh, dan menantunya, Tommy Marzuki dan Deddy Soeharto, serta tim dokter.
Bung Karno diopname di RSPAD sejak 16 Juni 1970 karena penyakit ginjal dan perdarahan. Menurut tim dokter yang dipimpin Prof Mahar Mardjono dan Mayjen dr Roebino Kertopati, karena penyakitnya semakin kronis, kondisi Bung Karno memburuk pada Sabtu, 20 Juni 1970, sekitar pukul 22.30. Kepergian Bung Karno menjadi berita utama di media massa. Kompas edisi Senin (22/6/1970) menurunkan lima artikel di halaman satu. Selamat jalan Bung Karno.
Kepergian Bung Karno adalah kedukaan bangsa ini. Bung Karno—bersama Bung Hatta—adalah Proklamator Kemerdekaan. Bung Karno juga memimpin negeri ini sebagai presiden pertama pada masa-masa sulit (1945-1967). Maka, wajar jika Presiden Soeharto, setelah berdiskusi dengan tokoh parpol, para menteri, keluarga Bung Karno, juga Bung Hatta, memutuskan upacara pemakaman secara kenegaraan, berkabung tujuh hari, dan memperlakukan almarhum sebagai proklamator.
Bung Karno memang layak menerima perlakuan seperti itu. Sebab, ia tokoh hebat. Perumus Pancasila. Bung Karno juga memainkan peran penting dalam percaturan global yang menyatukan solidaritas bangsa-bangsa Asia dan Afrika. Namun, Bung Karno juga dituding dekat dengan kelompok kiri, yang dianggap menjadi kelemahannya. Ah, biarlah sejarah yang membuktikannya.
Hanya saja tajuk Kompas hari itu menulis bahwa ”watak kekuasaan dan watak manusia itu cenderung bersalahguna. Karena itu, kekuasaan itu harus terbuka untuk dikritik, dikontrol, dan dikoreksi.” Pesan itu juga relevan hingga sekarang ini. Kini, 48 tahun sudah Bung Karno beristirahat tenang di Blitar. Kabarnya dulu kalau dimakamkan di sekitar Jakarta, rezim penguasa yang khawatir karena pengikut dan pengaruh Bung Karno masih begitu besar. (SSD)