Penduduk Desa Sukalilah, Kabupaten Garut, Jawa Barat, tengah dilanda demam listrik. PLN Distribusi Garut telah memasang listrik untuk 104 rumah di desa yang terletak 20 kilometer dari pusat kota Garut tersebut. Sejak itu, tidak ada pembicaraan lain di antara para pedagang dan petani di daerah tersebut, kecuali soal listrik. Biaya pemasangan tiap rumah Rp 84.000 dengan uang muka Rp 14.000 dan sisanya dicicil dalam waktu 10 bulan.
Byar! Listrik Masuk Desa
Byar...! Dan, desa-desa pun menjadi benderang setelah listrik menyala. Desa Sukalilah di Kabupaten Garut, Jawa Barat, untuk pertama kali ”dijamah” listrik pada Juni 1978. Saking girangnya, warga melakukan syukuran dengan pesta nasi tumpeng.
Bukan hanya di Garut, bahkan di Desa Condet, Jakarta Timur, juga baru ”kemasukan” listrik. Pada Juni 1977 Gubernur Ali Sadikin meresmikan mengalirnya listrik ke Condet yang saat itu dinyatakan sebagai cagar budaya Betawi.
Listrik Masuk Desa menjadi berita sehari-hari di media massa pada paruh kedua era 1970-an. Sosok Ir Sutami, Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik, sering tampak di televisi meresmikan Listrik Masuk Desa. Saat meresmikan Listrik Masuk Desa di Batusangkar, Sumatera Barat, Sutami mengatakan, ada dua syarat yang harus dipenuhi agar desa mendapat aliran listrik. Syaratnya adalah desa harus bersih dan tak ada segala bentuk perjudian.
Pejabat daerah gigih memperjuangkan daerahnya dialiri listrik. Bupati Wonosari Darmakum Darmokusumo pada Juni 1980 memohon kepada Wakil Presiden Adam Malik yang sedang berkunjung ke daerahnya untuk mengalirkan listrik ke Wonosari. Saat itu listrik hanya ada di ibu kota kabupaten. Itu pun hanya menyala pada malam hari.
Masuknya listrik ke desa menandai meredupnya penggunaan lampu minyak. Pada Agustus 1980, di Nagari Lawang, Kecamatan Matur, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, masuknya listrik ditandai dengan mematikan petromaks. Syahdin Datuk Bandaro, Bupati Agam, meresmikan masuknya listrik di daerahnya dengan mematikan petromaks, kemudian menekan tombol untuk menyalakan lampu.
Meratanya listrik ke pelosok daerah menandai berakhirnya peran sang rembulan sebagai penerang kala anak-anak bermain di waktu malam. Anak-anak Jawa di zaman pra-listrik punya nyanyian, ”Yo prakanca dolanan ana njaba. Padang bulan padange kaya rina—ayo kawan kita bermain di luar. Bulan terang, benderang bagaikan siang.” (XAR)