”Horison” Budaya di Kaki Langit
Tiga anak kecil
Dalam langkah malu-malu
Datang ke salemba
Sore itu.
Ini dari kami bertiga
Pita hitam pada karangan bunga
Sebab kami ikut berduka
Bagi kakak yang ditembak mati
Siang tadi.
Puisi Taufiq Ismail, ”Karangan Bunga”, menjadi sampul majalah Horison edisi pertama. Puisi ditulis dalam poster berisi lukisan tiga anak kecil membawa bunga karya pelukis Sri Widodo. Poster difoto oleh DA Peransi, seorang penulis, pelukis, pengajar sinematografi. Ketiga nama pada sampul tersebut merupakan tokoh-tokoh budaya pada zamannya.
Horison memang lahir dari para tokoh. Duduk dalam Dewan Redaksi adalah HB Jassin yang berjuluk ”Paus Sastra”, Taufiq Ismail, Soe Hok Djien atau Arief Budiman, Zaini, DS Moeljanto, dan Mochtar Lubis yang juga menjadi Pemimpin Umum.
Cerita pendek Mochtar Lubis, ”Kuburan Keramat”, ikut mengisi edisi pertama. Cerpen ini berupa satire tentang kekuasaan yang bertahan karena mitos. Ada pula cerpen ”Muntik No 11” karya Ras Siregar dengan ilustrasi oleh pelukis Nashar.
Goenawan Mohamad menulis esai ”Posisi Sastra Keagamaan Kita Dewasa Ini”. Ada pula esai berjudul ”Esai tentang Esai” ditulis Soe Hok Djin. Puisi Junus Mukri Adi, ”Parangtritis”, dan puisi Surachman RM, ”Mengapa Harus Gelisah”, menjadi puisi pertama yang dimuat.
Nama Horison atau kaki langit didasari semangat untuk selalu menengok dan mencari horizon baru. ”Supaya kita dengan sadar menghapuskan batas-batas pemikiran, penelaahan, kemungkinan daya kreatif kita di semua bidang penghidupan bangsa,” demikian tulis Mochtar Lubis dalam Kata Perkenalan.
Mencapai usia 50 tahun pada Juli 2016, versi cetak majalah Horison berhenti beredar. Horison terus muncul dalam bentuk online alias daring. (XAR)