Kamis (26/7/2018), Presiden Joko Widodo meletakkan batu pertama pembangunan Menara MUI (Majelis Ulama Indonesia) di Cipayung, Jakarta, menandai peringatan Milad Ke-43 MUI. MUI dibentuk 7 Rajab 1395 H bertepatan dengan 26 Juli 1975, seiring lahirnya Piagam Berdirinya MUI yang dihasilkan dalam Musyawarah Nasional Ulama I di Jakarta, 21-26 Juli 1975.
Munas tersebut dihadiri 26 ulama yang mewakili 26 provinsi di Indonesia kala itu serta 10 ulama dari organisasi kemasyarakatan Islam, yakni Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti, Al Washliyah, Math’laul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI, dan Al Ittihadiyyah. Munas juga dihadiri 4 ulama dari Dinas Rohani Islam TNI Angkatan Darat, Angkatan Udara, Angkatan Laut, dan Kepolisian Negara RI, serta 13 tokoh/cendekiawan Islam.
Kepengurusan MUI pertama diresmikan Menteri Agama Mukti Ali, yang juga Ketua Dewan Pertimbangan Majelis. Presiden Soeharto menjadi pelindung. Prof H Abdul Malik Abdul Karim Amrullah (Hamka) menjadi Ketua Dewan Pimpinan MUI pertama, didampingi lima ketua, KH Abdullah Syafiie, KH Syukri Ghozali, KH Habib Muhammad Al Habsji, H Soedirman, dan KH Hasan Basri (Kompas, 28 Juli 1975).
MUI hadir sebagai respons kebangkitan kembali bangsa Indonesia setelah 30 tahun merdeka dan keprihatinan terhadap sektarianisme yang mendominasi perpolitikan umat Islam era 1970-an. Selain itu, adanya tantangan global dampak dari kemajuan sains dan teknologi yang menerobos sekat-sekat etika dan moral serta serbuan budaya global yang berwujud pendewaan pada kebendaan dan hawa nafsu.
Menghadapi itu, para ulama bersepakat memfungsikan kembali agama sebagai penggerak peradaban kehidupan manusia. Oleh karena itu, landasan perjuangan MUI dirumuskan dalam lima fungsi dan peran utama, yakni ahli waris tugas-tugas para nabi (warasatul anbiya), pemberi fatwa (mufti), pembimbing dan pelayan umat (riwayat wa khadim al ummah), gerakan kedamaian dan pembaruan (islah wa at tajdid), serta penegak hal-hal baik dan pencegah hal-hal yang mungkar (amar ma’ruf nahi munkar).
Menjalankan lima peran itu tak semudah dituliskan. Sebagai ulama, Buya Hamka sangat memahaminya. ”Kami ini bagaikan kue bika, dibakar antara dua bara api yang panas, di atas pemerintah dan di bawah umat,” ungkapnya. (ELY)