Di awal kemerdekaan, meski kondisi pendidikan di Indonesia belum terlampau bagus, mutunya jauh lebih baik dibandingkan dengan negara tetangga Malaysia. Karena itu, setelah konfrontasi dengan Malaysia berakhir, di awal Orde Baru, sejumlah guru dikirim ke Malaysia untuk membantu meningkatkan mutu pendidikan di negara yang baru merdeka pada 31 Agustus 1957 itu.
Indonesia menjadi pilihan karena kualitas gurunya bagus dan sama-sama menggunakan bahasa Melayu sehingga lebih mudah dicerna para pelajar di sana.
Tahun 1969, misalnya, dikirim 44 guru berijazah sarjana untuk mengajar di Malaysia. Tahun 1970 dikirim 100 guru, pada 1971 dikirim 48 guru, dan pada 1972 dikirim sebanyak 86 guru, yang setiap guru bertugas selama tiga tahun dan harus kembali ke Indonesia. Selain itu, dikirim pula 17 dosen untuk mengajar di Universitas Kebangsaan Malaysia.
Untuk menarik minat guru Indonesia mengajar di negeri jiran, Malaysia memberikan berbagai iming-iming, seperti fasilitas rumah, jaminan kesehatan, serta gaji tinggi, yakni berkisar 700 dollar Malaysia-800 dollar Malaysia per bulan. Gaji ini lebih tinggi dibandingkan dengan gaji kepala sekolah di Malaysia yang maksimal 600 dollar Malaysia.
Namun, banyak guru yang dikirim ke Malaysia mengeluh karena meski mendapat gaji tinggi, mereka merasa disepelekan di Malaysia. Mereka sengsara karena sering dihina oleh kepala sekolah dan guru lain sehingga ada yang sampai bunuh diri.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang baru diangkat pada 1973, Soemantri Brojonegoro, langsung menghentikan pengiriman guru ke Malaysia. ”Mereka maju, sedangkan kita mundur karena guru terbaik dikirim ke sana,” katanya memberikan alasan. (THY)
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.