Pemerintah menargetkan pada 2019 Indonesia mampu berswasembada garam. Artinya, tahun depan tak ada lagi impor garam. Pertanyaannya, bagaimana cara mencapai target itu jika tahun ini saja negeri ini masih mengimpor 3,7 juta ton garam industri.
Di sisi lain, target produksi garam dari tahun ke tahun tak pernah tercapai. Tahun 2016, misalnya, dari target 3 juta ton, yang mampu diproduksi hanya 144.009 ton garam atau hanya 4,8 persen dari target. Tahun 2017, dari target 3,2 juta ton, hanya tercapai 1,11 juta ton atau 34 persen dari target. Sementara jumlah petambak garam dalam lima tahun terakhir terus menurun. Pada 2012 ada 30.668 petambak garam, tetapi pada 2016 tinggal 21.050 orang.
Ada program Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat (Pugar) dengan anggaran 2018 sebesar Rp 82 miliar. Namun, capaian Pugar selalu hanya 50 persen dari target.
Sejak 1990-an Indonesia mengimpor garam. Padahal, pada 1972 Menteri Perindustrian M Jusuf menegaskan tidak ada impor garam karena produksi lebih dari 400.000 ton, kebutuhan 150.000 ton (Kompas, 9 Agustus 1972). Kini impor menjadi jalan pintas mengatasi persoalan ketersediaan garam di dalam negeri. Impor cara termudah, tetapi bukan solusi jangka panjang. Dibutuhkan peta jalan yang jelas untuk mengurai persoalan garam, seperti mengurai keruwetan tujuh mata rantai penyediaan garam lokal.
Panjang garis pantai yang mencapai 99.093 kilometer selalu didengungkan bahwa Indonesia tak seharusnya kekurangan garam. Namun, tanpa teknologi dan hanya bertumpu pada cara konvensional sulit meningkatkan produksi karena lahan yang cocok untuk lokasi tambak garam hanya 26.024 hektar. Dikeluhkan, persoalan pada garam industri karena syarat kadar Na Cl 97,4 persen belum bisa dicapai garam lokal. Padahal, pemerintah bisa menggandeng ilmuwan, lembaga riset, dan perguruan tinggi untuk mengatasi masalah ini. Semua terpulang pada kemauan politik. (ely)