”Putri utama Indonesia/Lambang kemolekan bangsa/Pertanda di hati dunia/Pertanda bangsa di mata dunia/Semoga slalu bahagia.”
Itu adalah ”Himne Miss Indonesia”. Di arena Djakarta Fair, kini Pekan Raya Jakarta, para calon Miss Indonesia 1969 itu diuji. Pertama, mereka akan menghadapi pertanyaan para juri yang bukan sembarang juri. Ada bapak perfilman nasional, Usmar Ismail, ada pula wartawan senior Rosihan Anwar dari harian Pedoman. Mereka mendapat pertanyaan seputar pengetahuan umum. Ujian lain, putri-putri itu harus memperagakan keluwesan dalam mengenakan kebaya.
Akhirnya pada 17 Agustus, di Hotel Indonesia, Miss Indonesia 1969 terpilih, yaitu Irma Hadisurya dari Jawa Barat. Diikuti runner-up, atau setara pemenang kedua, yaitu Louis Maengkom dari Sulawesi Utara, Vera Tobing (Sumatera Utara), dan selanjutnya Ratih Dardo (Jakarta).
Pada malam pemilihan, peserta diwajibkan mengenakan kebaya dan selanjutnya memakai ”pakaian mandi”. Usmar Ismail selaku ketua dewan juri mengakui bahwa memilih seorang ratu di antara para ratu bukanlah hal mudah.
Irma Hadisurya yang saat itu berusia 22 tahun adalah mahasiswa Jurusan Seni Rupa, Institut Teknologi Bandung. Ia menerima sederet hadiah, antara lain tiket berlayar Jakarta-Singapura pergi-pulang dari Pelni, tiket pesawat ke Australia, skuter merek Lambretta yang pada saat itu sedang model, dan menginap di suit room Hotel Indonesia kamar nomor 750. Dan, tentu saja tiket mengikuti kontes Miss International Beauty Pageant di Tokyo.
Ajang pemilihan ”putri-putrian” itu mendapat reaksi dari masyarakat. Kongres Wanita Indonesia (Kowani), misalnya, tidak membenarkan kontes ratu kecantikan semacam Miss Indonesia. Yang bisa diterima Kowani adalah ratu luwes yang mengenakan pakaian nasional
GM Sudarta lewat kartun di harian Kompas menampilkan gambar pengemis memegang tongkat, berpakaian compang-camping dengan selempang bertuliskan ”pengeMISS INDONESIA”. Pada bagian bawah kartun terdapat tulisan ”Miss ini jangan dilupakan juga”. (XAR)