Gerakan kepanduan sudah ada jauh sebelum kemerdekaan Indonesia. Kepanduan kemudian diganti menjadi Gerakan Pramuka atau Praja Muda Karana, yang artinya Jiwa Muda yang Suka Berkarya, melalui Keputusan Presiden Nomor 238 Tahun 1961. Kelahirannya ditetapkan 14 Agustus 1961.
Presiden Soekarno sebagai Pramuka Agung saat itu sangat mencintai Pramuka. Ia menyebut Pramuka sebagai ”soko guru hari kemudian bangsa Indonesia”. Presiden pun menyiapkan Markas Besar Pramuka di Jalan Medan Merdeka Timur 6 yang cukup megah dengan menggusur gedung Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa, gedung Departemen Agraria, dan beberapa rumah di Jalan Pejambon (Kompas, 21 April 1966). Bahkan, menjelang lima tahun peringatan Gerakan Pramuka, disiapkan 1 juta pakaian seragam untuk dibagikan kepada anggota Pramuka.
Peringatan Panca Warsa atau lima tahun Gerakan Pramuka diselenggarakan secara meriah di Senayan, Jakarta. Selain pemeriksaan barisan dengan jip terbuka oleh Presiden Soekarno, juga ditampilkan atraksi terjun payung oleh Pramuka Angkasa.
Selain melakukan berbagai kegiatan untuk membentuk karakter bangsa, Pramuka juga memberi contoh gotong royong. Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka Sultan Hamengkubuwono IX, misalnya, pada 3 November 1968 menyerahkan Bendungan Cihideung, Bogor, yang memiliki tanggul sepanjang 20 meter, tinggi 6 meter, dan saluran irigasi 4 kilometer kepada masyarakat. Bendungan itu dibangun selama 26 minggu oleh 3.626 anggota Pramuka.
Peringatan 12 tahun Gerakan Pramuka dirayakan secara meriah pada 14 Agustus 1973 di Lapangan Monas. Bertindak sebagai inspektur upacara Presiden Soeharto, selaku Pramuka Tertinggi, dan diisi atraksi drumband serta tarian.
Hingga kini, Gerakan Pramuka terus berkembang dengan jumlah anggota sekitar 17 juta orang di Indonesia. Pramuka diminati banyak kalangan karena diyakini sebagai wadah untuk membentuk karakter anak bangsa. (THY)