Menutup akhir 1973, ada 10 film nasional yang banyak penontonnya di Jakarta. Urutannya adalah Ratapan Anak Tiri, Perkawinan, Dimana Kau Ibu, Biang Kerok, Bumi Makin Panas, Bing Slamet Sibuk, Si Dul Anak Betawi, Buah Bibir, Intan Berduri,dan Pemberang. Film Ratapan Anak Tiri ditonton 467.831 orang dan Pemberang ditonton 31.300 orang.
Sayangnya, ketika ditanya berapa rupiah yang dikumpulkan dari pajak tontonan, Humas Dinas Pajak dan Pendapatan DKI Jakarta menolak menyebutkan.
Empat tahun sebelumnya, 1969, warga Jakarta mengeluarkan Rp 779.448.000 ke loket-loket bioskop di Jakarta. Penonton bioskop pada tahun itu 6.836.009 orang.
Banyaknya penonton setidaknya dipengaruhi oleh peraturan Gubernur DKI tahun 1967 soal penertiban harga tanda masuk (HTM) bioskop. Pada tahun-tahun sebelumnya, pengusaha hiburan dan bioskop mengalami masa suram karena pungutan liar. Dalam bulan puasa Desember 1967, misalnya, loket karcis gedung-gedung bioskop di Ibu Kota penuh sesak antrean, tidak hanya oleh penonton, tetapi juga pencatut atau calo karcis. Di tangan calo, harga karcis Rp 40 melonjak menjadi Rp 75.
Bioskop Satria di Jakarta, seperti diberitakan Kompas, Sabtu, 16 Desember 1967, bahkan pernah membatalkan pemutaran film The Empty Canvas pada pukul 14.30 gara-gara ada puluhan anggota militer yang ”meminta” karcis dari petugas loket untuk kemudian dijual kembali.
Meski pemasukan dari pajak tontonan dirasa cukup besar, seperti saat pergelaran International Film Show di Jakarta, 15 Juni-15 Juli 1968, yang meraup Rp 10 juta, hal ini belum terjadi di daerah. Para pemilik bioskop kecil di daerah mengharapkan ada penurunan pajak tontonan.
Mulai Januari 1972, Dinas Pajak dan Pendapatan DKI Jakarta menyeragamkan karcis untuk semua bioskop. Hal ini untuk mencegah pemalsuan dan penggelapan pajak tontonan. Semua pengusaha bioskop diwajibkan melunasi pajak tontonan lebih dulu setiap akan mengambil karcis yang baru di kantor dinas pajak di gedung Sarinah, Jalan Thamrin, Jakarta. (JPE)