Impian Indonesia memiliki industri penerbangan yang kokoh sudah muncul di kalangan pemuda awal masa kemerdekaan. Bukan sekadar mimpi, dua pemuda pen- cinta dirgantara, Nurtanio Pringgoadisuryo dan Wiweko Soepono, merancang pesawat berbentuk sederhana dengan memanfaatkan rongsokan pesawat Aero Ae-45 buatan Cekoslowakia dan mesin sepeda motor Harley Davidson.
Lewat kegigihan yang luar biasa, lahirlah pesawat-pesawat kecil ”Si Kumbang” pada 1954, ”Belalang” pada 1957, dan ”Kunang-kunang” pada 1958. Setelah karya nyata ini, dibentuklah Lembaga Persiapan Industri Penerbangan, disingkat Lapip, dalam lingkungan Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI).
Dalam penerbangan percobaan pada 1966, pesawat yang ditumpangi Nurtanio jatuh dan ia gugur. Untuk mengenang jasanya, nama Lapip diganti menjadi Lembaga Industri Penerbangan Nurtanio (Lipnur).
Industri Lipnur terus berkembang sehingga mendapat lisensi dari Spanyol dan Jerman untuk membuat pesawat angkut Casa 212 dan helikopter BO-105. Spanyol tidak akan memberikan lisensi kepada negara lain di ASEAN sehingga industri pesawat di ASEAN akan dikuasai Indonesia.
Saat peresmian Perusahaan Negara (PN) Industri Penerbangan Nurtanio, Senin, 23 Agustus 1976, Direktur Utama BJ Habibie mengatakan, jumlah modal yang tertanam di industri itu Rp 590.849.006 dan menyerap 600 tenaga kerja lokal, 9 tenaga ahli dari Spanyol, dan 8 tenaga ahli dari Jerman.
Pada 11 Oktober 1985, industri ini berganti nama menjadi PT Industri Pesawat Terbang Nusantara. Saat krisis 1998, industri ini terpuruk. Berganti nama menjadi PT Dirgantara Indonesia (PTDI) sejak 24 Agustus 2000, perusahaan ini terus berkembang dengan memproduksi pesawat NC-212, Casa CN-235, N219, helikopter H215 Superpuma, helikopter BELL 412 EP, serta helikopter AS565MBE, dan menjadi andalan untuk produk dirgantara lainnya. (THY)