Neraca perdagangan Indonesia pada Mei 2018 kembali defisit, mencapai sekitar Rp 21,28 triliun. Sektor minyak dan gas bumi menyumbang defisit cukup besar, yaitu sekitar Rp 17,3 triliun atau 81 persen dari total defisit neraca perdagangan.
Impor sektor migas terutama didominasi bahan bakar minyak (BBM). Dari kebutuhan BBM 1,6 juta barrel per hari, sekitar 52 persen diimpor karena kemampuan kilang minyak di dalam negeri terbatas. Kilang di dalam negeri hanya mampu menyediakan kurang dari separuh kebutuhan BBM nasional. Kebutuhan akan kilang sudah disadari sejak lama. Pada 1976, Presiden Soeharto meresmikan kilang kesembilan milik Pertamina di Cilacap, Jawa Tengah (Kompas, 25 Agustus 1976). Kilang tidak hanya berfungsi mengolah minyak mentah menjadi BBM, tetapi juga untuk memproduksi pelumas dan produk petrokimia lainnya.
Namun, 20 tahun terakhir tidak ada satu kilang baru pun yang dibangun di Indonesia. Kilang terakhir yang dibangun pada 1997 adalah Kilang Balongan di Jawa Barat.
Padahal, memiliki kilang yang memadai dapat mengurangi ketergantungan pada impor BBM dan membantu mengurangi defisit neraca perdagangan. Mengimpor minyak mentah akan lebih murah ketimbang mengimpor BBM, dan hal itu bisa menekan praktik pemburu rente dari impor BBM.
Dua pejabat Direktur Utama PT Pertamina yang dicopot dari jabatannya dalam tiga tahun terakhir pernah menyatakan, ada pihak-pihak yang tidak senang dengan rencana Indonesia membangun kilang minyak baru. Kelompok itu selalu berusaha agar rencana pembangunan kilang tidak terwujud karena akan mengganggu bisnis mereka.
Melalui PT Pertamina, pemerintah berencana membangun dua kilang baru, dan meningkatkan kapasitas empat kilang yang ada, yang akan selesai pada 2025. Untuk itu, dibutuhkan investasi sekitar Rp 450 triliun.
Namun, pembangunan kilang belum menyelesaikan masalah hulu di sektor migas, yaitu defisit produksi minyak mentah. Meningkatkan produksi dan menemukan cadangan minyak baru menjadi keharusan. (ely)