Sebuah ”papan reklame” raksasa berdiri di kawasan Monas, Jakarta Pusat. Tulisannya besar, terbaca dari kejauhan. ”Apakah Bapak masih ada persediaan?”
Di atas tulisan ada lambang pria lingkaran berpanah. Di dalamnya ada gambar keluarga dengan dua anak disertai tulisan: Pilih Rencana daripada Bencana. Namun, yang paling mencolok adalah tulisan paling atas: ”Kondom”.
Jangan berharap bisa menemukan pesan serupa sekarang. Papan reklame yang berdiri di pusat keramaian 44 tahun lalu itu mungkin diserbu pendemo kalau dipasang hari ini.
Begitulah. Zaman telah berubah. Dulu, 1974, ketika pemerintah mencanangkan kampanye besar pemakaian kondom, situasinya biasa saja. Kondom memang merupakan salah satu alat kontrasepsi dalam Keluarga Berencana yang mudah, murah, sekaligus aman.
Bahkan, petugas dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) punya program memperkenalkan kondom dari rumah ke rumah. Sambutannya positif. Menurut Ketua BKKBN DKI Jakarta kala itu, Abdullah Cholil, ”Cara ini mendapat sambutan baik, terutama dari kaum ibu banyak yang membeli.”
Namun, saat ini—ketika prasangka menekan akal sehat—kondom yang mulai mudah diakses justru dirazia. BBC (14/2/2017) memberitakan, Wali Kota Makassar merazia kondom di sejumlah minimarket menjelang Hari Valentine 2017. Padahal, kondom tidak hanya mencegah kehamilan, tetapi juga efektif mencegah penularan penyakit seksual. Sebelumnya, Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi (Kompas, 25/6/2012) menuai kontroversi karena memperkenalkan kondom sebagai bagian dari harm reduction, upaya kesehatan masyarakat untuk mengurangi dampak buruk. Kondom adalah langkah berikutnya jika anjuran berkata tidak pada hubungan seks di luar nikah tidak mempan.
Kenyataannya, ada atau tidak ada kondom, hubungan seksual terus berjalan. Apalagi, godaan seperti video porno dan narkoba ada di mana-mana. Maka, untuk mencegah penularan HIV/AIDS, penggunaan kondom seharusnya tidak dipertentangkan dengan anjuran moral.