Hingga hari ini, program swasembada daging sapi yang digulirkan lebih dari 10 tahun lalu belum juga terwujud. Impor daging menjadi ”jalan mudah” yang diambil pemerintah untuk memenuhi kebutuhan dan menekan harga daging. Alih-alih menekan harga daging agar mencapai Rp 80.000 per kilogram, yang terjadi pasar daging lokal justru tergerus, harga tetap melambung.
Peluang penularan penyakit mulut dan kuku (PMK) pun terbuka karena pemerintah membuka impor jeroan dan daging kerbau beku dari India, negara yang belum bebas dari PMK. Kebijakan ini melanggar Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Usaha peternakan sapi di Indonesia sebelum 1980-an dikelola secara tradisional dan skala kecil. Ternak sapi sekadar tabungan buat keluarga petani/peternak. Pengembangan yang dilakukan pemerintah pun sebatas program inseminasi buatan atau penyebaran bibit sapi lokal.
Awal 1980, mulai ada yang mengembangkan peternakan sapi sebagai bisnis. Mengandalkan efisiensi, kemampuan manajerial, berskala besar, dengan pola pemeliharaan yang intensif, bisnis penggemukan sapi (feedlot) ini dimulai di Jawa Barat. Namun, rintisan usaha feedlot dengan kapasitas keluaran 8.000 ekor sapi per tahun ini tidak berjalan mulus karena sulit mendapatkan sapi bakalan dari dalam negeri. Di titik inilah awal dilakukan impor sapi dari Australia sebagai sapi bakalan.
Impor sapi dari Australia sebenarnya sudah dilakukan sebelum tahun 1980, tetapi bukan sebagai sapi bakalan, melainkan sapi bibit untuk disilangkan dengan sapi lokal (Kompas, 7 September 1977). Namun, karena terbiasa beternak secara tradisional, peternak menjadi ”gagap” ketika harus memelihara sapi unggulan dari Australia yang dipelihara dengan kaidah-kaidah peternakan modern.
Kembali ke cita-cita swasembada daging, selamanya hal itu tidak akan terwujud jika tidak ada langkah ekstrem dalam pembibitan sapi, sebagai penyedia ternak bakalan untuk ternak potong. Ini butuh keputusan politik dengan segala konsekuensinya. Kita tunggu! (ely)