Jika berkunjung ke pelosok-pelosok Tanah Air, mungkin sudah sulit menemukan lagi produk minuman ringan bermerek lokal. Sebab, pabriknya sudah gulung tikar sebagai imbas dari berdirinya pabrik-pabrik raksasa yang memproduksi minuman ringan dengan merek impor.
Berdirinya pabrik-pabrik raksasa pada awal tahun 1970-an menyebabkan sebagian besar dari 200 perusahaan minuman ringan produk lokal harus mengakhiri masa kejayaannya. Setelah tahun 1971—seperti diberitakan harian Kompas, 15 September 1971—industri minuman lokal terancam oleh pabrik-pabrik raksasa yang memproduksi minuman ringan bermerek internasional.
Pabrik raksasa tersebut mampu memproduksi minuman ringan dengan efisien dan dalam jumlah banyak. Sebagai contoh, pabrik Coca-Cola dengan satu shift kerja saja mampu memproduksi 3.000 krat atau 72.000 botol per hari. Jika tiga shift produksi, jumlah yang diproduksi mencapai 9.000 krat atau 216.000 botol per hari.
Industri minuman ringan di dalam negeri benar-benar menghadapi tantangan yang luar biasa berat karena produk luar langsung merebut pangsa pasar kelas atas di perkotaan. Sementara produk lokal terpaksa menyingkir ke pasar kelas bawah di pinggiran kota.
Bahkan, investasi untuk membangun pabrik minuman produk luar terus bertambah karena pasar Indonesia sangat menjanjikan dengan penduduk saat ini lebih dari 250 juta jiwa dan kelas menengah yang terus tumbuh.
Namun, pesatnya pertumbuhan kapasitas produksi minuman ringan merek internasional tak boleh dilihat hanya sebagai serangan mematikan dari produk luar terhadap produk lokal. Peningkatan jumlah pabrik produk minuman luar menunjukkan bahwa kepercayaan investor terhadap Indonesia masih sangat positif.
Kalangan pengusaha juga optimistis terhadap perkembangan industri minuman ringan di Indonesia yang akan terus tumbuh, termasuk produk dalam negeri. Keyakinan ini tentu didorong oleh besarnya potensi pasar di dalam negeri. Tinggal bagaimana kalangan industri mampu bersaing dan mempertahankan pangsa pasar mereka. (BOY)