Jembatan kereta api yang membentang di atas Kali Serayu, Kecamatan Patiraja, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, sudah berusia tua. Dibangun oleh Pemerintah Hindia Belanda tahun 1915, jembatan yang memiliki lima pilar itu membahayakan jika dilintasi kereta api karena beberapa bagiannya sudah rapuh. Padahal, jembatan yang menghubungkan Purwokerto-Yogyakarta itu termasuk padat dilintasi kereta api.
Untuk keamanan perjalanan kereta api, sejak 1 Januari 1971 dibangun jembatan baru kereta api di atas Kali Serayu. Panjang jembatan ini 210 meter yang terdiri dari bentang pertama 60 meter, bentang kedua 90 meter, dan bentang ketiga 60 meter.
Batangan baja jembatan seberat 700 ton sengaja diimpor dari Belanda untuk menjamin kualitasnya. Besi baja didatangkan melalui Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Namun, saat akan dibawa ke lokasi pembangunan jembatan, diketahui 200 batang baja ukuran kecil hilang di pelabuhan. Balai Besar Perusahaan Negara Kereta Api (PNKA) terpaksa mengganti besi baja yang hilang itu dengan produk dalam negeri.
Perusahaan Belanda yang memproduksi besi baja itu semula ragu Indonesia mampu membangun jembatan sendiri. Namun, ternyata, putra-putra terbaik Indonesia mampu membangun jembatan sendiri dengan biaya kerangka baja Rp 1 miliar dan biaya pemasangan sekitar Rp 50 juta. Sebagai perbandingan, harga beras saigon saat itu Rp 42 per kilogram, beras cianjur Rp 50 per kilogram, dan gula pasir Rp 100 per kilogram.
Kembali ke soal jembatan, Presiden Soeharto akhirnya meresmikan jembatan kereta api yang membentang di atas Sungai Serayu tersebut pada Rabu 20 September 1972. Meski diklaim sebagai jembatan KA terpanjang, sebenarnya ada jembatan KA yang lebih panjang, yakni Jembatan Cikubang di Padalarang, Kabupaten Bandung Barat, yang membentang sepanjang 300 meter. Jembatan setinggi 80 meter di atas permukaan Sungai Cikubang ini mulai digunakan sejak 1906 pada masa pemerintahan Hindia Belanda. (THY)