Oedipus Sang Raja atau Oedipus Rex, tragedi Yunani karya Sophocles ini, menjadi gebrakan Bengkel Teater Yogya di panggung teater modern Indonesia. Pentas di Taman Ismail Marzuki, 29-30 September 1969, ini antara lain dihadiri bapak bangsa Mohammad Hatta.
Pentas menampilkan Rendra sebagai Oedipus, selain sebagai sutradara dan penyadur naskah. Oedipus didukung generasi awal Bengkel Teater, seperti Putu Wijaya, Syubah Asa, Moorti Purnomo, Etty Sunarti Asa, Robin Simanjuntak, Chaerul Umam, Ruwi Purnomo, A Tuti, Ikranegara, Azwar AN, Sudibyanto, Untung Seno Broto, Untung Basuki, Taufik Ridan, dan Tertib Suratmo.
Para pemain menggunakan topeng dari kertas semen karya Danarto. Tata panggung digarap Sutopo HS dan Sanggar Bambu, tata rupa oleh Roedjito, dan musik digarap Sunarti Rendra.
Rendra pada 1967, saat berumur 32 tahun, baru kembali dari New York. Pada 1964-1966, ia belajar di American Academy of Dramatic Art. Sekitar empat bulan kemudian, ia bersama Goenawan Mohamad dan Bakdi Soemanto mendirikan Yayasan Teater Yogya. Boleh dikatakan, ini merupakan embrio Bengkel Teater Yogya. Tahun itu juga mereka mementaskan Menunggu Godot karya Samuel Beckett yang aslinya berjudul Waiting for Godot. Pentas ini menampilkan Azwar AN, Moorti Purnomo, Bakdi Soemanto, Rendra, serta DA Peransi sebagai sutradara.
Rendra melakukan eksperimen lewat pentas Bip Bop. Oleh sementara penonton saat itu belum bisa diterima. Goenawan Mohamad menyebut Bip Bop sebagai teater mini kata karena minimnya penggunaan bahasa verbal. Ketika dipentaskan di Gedung PPBI, Yogyakarta, pada 1968, atap gedung dilempari batu.
Kepulangan dari New York itu meyakinkan Rendra pada pilihan hidup sebagai seniman yang, katanya, berumah ”Di Atas Angin”. Pilihan hidup yang dilakoni dengan sepenuh jiwa dan cinta. ”Kalau belum telanjur, jangan main. Kalau sudah cinta, teruskan dengan semangat dan pengertian,” kata Rendra. (XAR)