Menjelang berakhirnya masa operasional Bandara Internasional Kemayoran tahun 1980, Pangkalan Udara Utama Halim Perdanakusuma berbenah diri. Apalagi statusnya akan ditingkatkan menjadi bertaraf internasional oleh Departemen Perhubungan.
Pengerjaan fisik dimulai pertengahan tahun 1972 dengan pengerasan dan penebalan landasan sepanjang 3.000 meter dan lebar 60 meter. Pembangunan terminal seluas 10.000 meter persegi dan tempat parkir yang mampu menampung 2.000 kendaraan.
Tempat parkir pesawat akan mampu menampung 3 Boeing 747, 2 DC-10, 2 DC-9, dan 2 DC-8. Diperkirakan biaya pembangunannya mencapai 20 juta dollar AS. Pesawat Qantas, Boeing 747, menjadi yang pertama mendarat di Indonesia pada Rabu, 9 Juli 1975, pukul 10.00, di Halim Perdanakusuma.
Pesawat milik Australia itu beratnya 350 ton dan disewa PBB untuk mengangkut 373 anggota pasukan Garuda VII yang akan bertugas di Timur Tengah.
Sebagai persiapan, kapten pilot Fox dan seorang ahli teknik dari Qantas dikirim ke Jakarta untuk memeriksa kondisi landasan di Halim. Direktur Jenderal Perhubungan Udara Laksamana Muda Kardono memberi lampu hijau dengan syarat berat maksimum lepas landas 350 ton, termasuk 45 ton barang.
Untuk itu, pesawat hanya diperbolehkan menampung berat maksimal 356 penumpang dari kapasitas 490 penumpang. Menurut administrator landasan Halim, Basuki, untuk pengoperasian pesawat jumbo secara penuh tanpa pembatasan muatan dibutuhkan lagi panjang landasan sekitar 170 meter dari yang sudah ada.
Lima tahun kemudian, Presiden Soeharto pada Rabu (6/8/1980) siang meresmikan penggunaan pesawat Boeing 747 Garuda di Pangkalan Udara Utama Halim Perdanakusuma. Pesawat ini diberi nama City of Jakarta.
Pada 1980, Garuda membeli lagi 3 pesawat Boeing 747 yang diberi nama City of Bandung-PK GSB, City of Medan-PK GSC, dan City of Surabaya-PK GSD. Pesawat ini nantinya digunakan untuk angkutan jemaah haji mulai 14 September 1980. (JPE)