Setelah ditahan sejak 1965, dua prajurit Marinir Indonesia (dulu Korps Komando Angkatan Laut) dihukum gantung di penjara Changi, Singapura, pada 17 Oktober 1968. Keduanya adalah Oesman bin Hadji Mohammad Ali (23) dan Harun bin Said (25).
Pengadilan Singapura menghukum keduanya karena telah melakukan sabotase dengan meledakkan MacDonalds House di Orchard Road pada 10 Maret 1965. Tiga orang tewas dan 33 orang luka-luka dalam peristiwa itu.
Perlu dicatat, sejak 1962-1965, Indonesia konfrontasi dengan Malaysia. Presiden Soekarno menentang rencana penggabungan Malaya (saat itu termasuk Singapura), Brunei, Sabah, dan Serawak ke dalam Federasi Malaysia. Negara federasi itu dinilai merupakan negara boneka Inggris yang bisa mengganggu kedaulatan Indonesia. Karena itu, sejumlah tentara Indonesia dikirim untuk menyusup ke negara tetangga tersebut.
Pemerintah Indonesia berganti. Presiden Soeharto yang naik ke tampuk kekuasaan meminta agar Oesman dan Harun diperlakukan sebagai tawanan perang. Namun, permintaan itu ditolak Pemerintah Singapura. Oesman dan Harun tetap dieksekusi hukuman gantung. Pejabat Pemerintah Indonesia tidak diperkenankan menyaksikan eksekusi itu.
Permintaan agar kedua jenazah itu dibawa dari penjara untuk disemayamkan di kantor perwakilan Indonesia juga tak diizinkan Pemerintah Singapura. Meski eksekusi dilakukan pukul 06.00, kedua jenazah baru bisa keluar dari penjara pukul 10.30. Pesawat khusus dari Jakarta juga tidak mendapat izin mendarat di Bandara Internasional Singapura sehingga Indonesia meminta kepada Inggris untuk meminjamkan penggunaan landasan Angkatan Udara Britania Raya (Royal Air Force).
Pada 26 Mei 1973, Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew berkunjung ke Indonesia. Namun, Presiden Soeharto mengajukan syarat, PM Lee harus melakukan tabur bunga terlebih dahulu di makam Oesman dan Harun di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Permintaan itu dipenuhi Lee. Nama Oesman dan Harun kini diabadikan sebagai nama KRI di jajaran TNI AL. (THY)