Sepenggal berita meninggalnya kaisar yang satu ini menjadi menarik karena dia bukan seorang kaisar biasa. Selain Puyi tercatat sebagai kaisar terakhir di China, hidup kaisar ini penuh duka.
Puyi ditunjuk menjadi kaisar kala usianya baru dua tahun pada 1908. Adik neneknya, Tsushi, janda yang sudah memerintah selama 50 tahun, mengangkatnya sebagai kaisar dengan catatan dia tetap akan memerintah sambil menunggu Puyi dewasa. Ternyata hanya sehari sebelum Puyi dinobatkan, Tsushi mendadak meninggal.
Belum sempat berkuasa, situasi berubah ketika kekaisaran menyerahkan kekuasaan kepada tentara republik. Puyi yang masih berusia enam tahun dengan sendirinya harus menanggalkan gelarnya. Dia seperti diombang-ambing akibat berbagai perubahan.
Tahun 1917, China kembali ke tangan tuan-tuan tanah dan Puyi dinobatkan kembali sebagai kaisar untuk beberapa hari saja. Sebagaimana ditulis dalam berita Kompas, 20 Oktober 1967, Puyi yang masih belia disingkirkan. Pada masa inilah dia diperkenalkan dengan bahasa Inggris dan mendapat nama Henry dari gurunya. Sejak itu dia dikenal dengan Henry Puyi.
Kehidupannya juga tak menentu. Sebagai remaja darah biru, Puyi ditawari empat perempuan untuk dijadikan permaisuri atau gendak. Seperti posisi takhtanya, dalam kehidupan rumah tangga, Puyi tak beruntung. Istri kedua dan ketiganya meminta cerai.
Pada masa pemerintahan Jepang di China, Puyi yang sedang dalam pengasingan kembali terangkat. Jepang memberinya takhta sebagai kaisar Manchuria meski tidak ada kekuasaan nyata yang diberikan kepadanya. Puyi hanya dijadikan ”boneka”. Namun, lagi-lagi dia harus melepas takhtanya ketika Jepang kalah dalam Perang Dunia II.
Puyi berupaya melarikan diri, tetapi tertangkap pasukan Uni Soviet. Dia dikirim sebagai tahanan ke Siberia. Ketika Soviet menyerahkan Puyi kepada China, dia mengira akan dieksekusi. Namun, China memberi pengampunan.
Pada akhir hidupnya, mantan kaisar ini hidup sebagai asisten tukang kebun di taman botani Beijing sampai meninggal. (RET)