Mahkamah Konstitusi RI pada 7 November 2017 memutuskan, kata ”agama” dalam Pasal 61 Ayat (1) dan Pasal 62 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan bertentangan dengan UUD 1945.
Dengan keputusan ini, berarti penghayat kepercayaan memiliki hak yang sama dalam hal pencatatan status keagamaannya di kartu tanda penduduk, seperti para penganut ”enam agama besar” yang ada di Indonesia.
Pendapat MK itu dikeluarkan untuk menjawab permohonan yang diajukan Nggay Mehang Tana, Pagar Demanra Sirait, Arnol Purba, dan beberapa orang lainnya. Mereka mengajukan permohonan uji materi terhadap Pasal 61 dan Pasal 62 UU No 24/2013 tentang Administrasi Kependudukan terkait status kolom agama di KTP dan kartu keluarga (KK) bagi penghayat kepercayaan.
Keputusan MK ini dinilai membuka jalan baru bagi penghayat kepercayaan untuk mengakses hak-haknya sebagai warga negara, seperti hak atas pengakuan perkawinan, pendidikan, pekerjaan, jaminan sosial, dan kesehatan.
Namun, pelaksanaan keputusan tersebut masih butuh kerja pemerintah untuk membuat peraturan perundangan yang memberi batasan pengertian tentang definisi aliran kepercayaan dan kepercayaan yang diakui oleh negara.
Aturan yang menetapkan aliran kepercayaan yang diakui adalah yang betul-betul warisan leluhur dan tidak mendiskreditkan suatu agama.
Diperlukan kebijakan jalan tengah yang memberi pengakuan terhadap kebebasan individu atau kelompok pemeluk agama dan penganut kepercayaan. Kebijakan yang mampu mencegah terjadinya konflik horizontal di masyarakat.
Persoalan pengakuan terhadap hak hidup aliran kepercayaan telah lama ada dalam perjalanan republik ini. Ketua MPR/DPR Adam Malik saat itu harus menegaskan bahwa tidak ada alasan untuk keberatan dimasukkannya aliran kepercayaan dalam GBHN.
Aliran kepercayaan memang tidak sama dengan agama, tetapi harus diterima, tidak dilarang, dan tidak dimusuhi karena itu kenyataan hidup yang harus diterima bangsa ini. Janganlah perbedaan dipertentangkan, apalagi sampai memecah persatuan. (ely)