Kabut asap tebal akibat kebakaran hutan sudah beberapa puluh hari menyelimuti beberapa wilayah di Sumatera Selatan. Kota Palembang dan sekitarnya menjadi gelap sehingga memacetkan lalu lintas di darat, sungai, ataupun udara.
Penggalan berita harian Kompas edisi 2 November 1967 itu juga menyebutkan, kebakaran hutan dengan dampak serupa pernah terjadi pada tahun 1961. Kala itu, kebakaran hutan hampir tidak mungkin dipadamkan dengan tenaga manusia karena luasnya areal hutan yang terbakar dan relatif sulit dijangkau.
Warga hanya pasrah pada alam, menunggu hujan lebat turun. Hingga setengah abad kemudian, berita-berita mengenai kebakaran hutan dan lahan masih menghiasi halaman-halaman koran dan layar televisi. Seolah sudah menjadi ritual tahunan setiap memasuki musim kering.
Pusat Informasi Kompas merekam, sejak 1960-an kebakaran terjadi berulang dan terus terjadi, terutama di Sumatera dan Kalimantan. Bahkan, jumlah titik api yang terpantau mengalami peningkatan. Pada 2015, menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, luas lahan yang terbakar meningkat puluhan kali lipat dibandingkan tahun 2010.
Penyebab utama kebakaran hutan dan lahan adalah kegiatan pembakaran yang dilakukan masyarakat dan juga korporasi. Pembakaran adalah cara mudah dan murah untuk membuka lahan perkebunan. Di Sumatera, harga 1 hektar lahan sebelum dibakar sekitar Rp 8,5 juta dan meningkat menjadi Rp 11 juta lebih setelah dibakar. Jika sudah ditanami sawit, harganya melambung menjadi sekitar Rp 40 juta.
Adapun kebakaran di lahan gambut diyakini tidak akan berhenti selama kondisi ekosistem lahan gambut yang rusak tidak diperbaiki. Salah satu penyebab kerusakan lahan gambut adalah pengeringan yang berlebih dan tidak terkendali untuk alih fungsi lahan. Lahan gambut yang kering menjadi pemantik kebakaran dan berbagai upaya pemadaman pun sulit dilakukan.
Kebakaran hutan dan lahan menyebabkan kerugian akibat kerusakan lingkungan, gangguan kesehatan, hambatan pendidikan, dan kerugian ekonomi lainnya. Bank Dunia mencatat, dalam kurun waktu Juli-Oktober 2015, kerugian akibat kebakaran hutan dan lahan mencapai Rp 221 triliun. (LAM)