Kesadaran Berbangsa Bermula dari Pendidikan Dokter
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·3 menit baca
SLEMAN, KOMPAS—Awal mula kesadaran berbangsa pada zaman pergerakan nasional muncul dari para pemuda pribumi yang mengenyam pendidikan dokter di Hindia-Belanda, kala itu. Mereka merasakan ketidakadilan terhadap pribumi sehingga membentuk gerakan politis untuk menyatukan diri sebagai satu bangsa demi mendapatkan keadilan tersebut.
“Perjuangan yang dialami bangsa Indonesia tidak hanya perjuangan fisik. Bangsa ini banyak berdinamika dengan ide dan gagasan tentang bangsa itu sendiri. Peran intelektual ini salah satunya dipegang oleh dokter-dokter pribumi,” kata Hans Pols, Guru Besar Sejarah dari Universitas Sydney, Australia dalam diskusi peluncuran bukunya yang berjudul Merawat Bangsa: Sejarah Pergerakan Para Dokter Indonesia di Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Rabu (14/11/2018).
Hans menyampaikan, salah satu bentuk nyata dari keterlibatan dokter dalam pergerakan nasional itu adalah terbentuknya Boedi Oetomo, pada 1908. Organisasi tersebut berisikan para pemuda lulusan dari Sekolah Pendidikan Dokter Hindia (Stovia). Para anggotanya adalah dokter-dokter bumiputera yang kerap menyuarakan tentang keinginan mereka untuk mencapai keadilan.
“Selama masa pendidikan, para pelajar kedokteran mudah merasa peka terhadap isu-isu budaya, sosial, ekonomi, dan politik karena mereka secara berkala berhubungan dengan masyarakat luas. Lebih dari kebanyakan profesional lain, para dokter secara konsisten dihadapkan pada penderitaan dari semua kelas sosial dan kelompok etnis,” ujar Hans.
Hans mengungkapkan, pendidikan dokter secara tak langsung memberikan kesempatan kepada kaum pribumi untuk berhadapan langsung dan berdialektika dengan pemerintah kolonial yang kala itu berkuasa. Para pemuda yang mengenyam pendidikan dokter dengan intelektualitasnya mengkritisi kebijakan pemerintah kolonial yang berpihak dan cenderung merugikan kepada pribumi. Khususnya, dalam kebijakan-kebijakan, di bidang kesehatan.
Terkait hal itu, Laksono Trisnantoro, Guru Besar Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Masyarakat UGM, menjelaskan, pergerakan dokter untuk bangsa ini bermula dari keinginan dokter untuk memperbaiki profesinya. Dokter pribumi mendapatkan bayaran yang lebih rendah dibandingkan dokter dari Belanda.
“Mereka selalu ditugaskan di tempat-tempat jauh dengan bayaran yang amat rendah. Jauh berbeda dengan dokter-dokter dari Belanda. Mereka juga melihat ketidakseimbangan layanan kesehatan bagi pribumi di masa itu. Dari situ, perasaan sebagai bangsa yang ingin bersatu pun muncul untuk memperoleh keadilan itu,” kata Laksono.
Berperan penting
Abdul Wahid, Sekretaris Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UGM, menjelaskan, para dokter itu berperan penting dalam pergerakan sosial-politik di zaman perjuangan. Mereka menjadi pendorong terjadinya perubahan terhadap bangsa ini melalui keilmuan yang mereka miliki.
“Mereka menggunakan ilmunya untuk memahami persoalan sosial ekonomi yang ada dan merumuskan diagnosa yang diperlukan untuk memahami kebobrokan kolonial. Mereka tak hanya melihat penyakit yang dialami masyarakat, tetapi kondisi sosial yang dialami masyarakat yang juga terpuruk karena penindasan, dan bergerak melakukan aksi nyata,” kata Abdul.
Abdul menambahkan, para dokter itu, sebagai pelajar, mereka membaca, berdiskusi, serta menuliskan pemikiran-pemikiran mereka dan berusaha menyebarkannya lewat surat kabar. Lewat jalur itu, mereka memproyeksikan konsep ‘negara-bangsa’ yang ideal untuk menggantikan sistem kolonial yang eksploitatif terhadap masyarakat pribumi. Hal itu merupakan jalan bagi mereka untuk bersatu demi mewujudkan keadilan bagi sesama warga-bangsa.