Gagasan untuk menjadikan tempat pemakaman umum di Jakarta sebagai bagian dari sasaran penghijauan mengemuka pada pertengahan November 1976. Gubernur Ali Sadikin bertekad mengubah kawasan pemakaman di seluruh wilayah Jakarta dari kesan seram menjadi sejuk, tenang, dan teduh (Kompas, 22/11/1976).
Dalam banyak kesempatan, Ali Sadikin menegaskan bahwa masalah penghijauan harus menjadi sasaran utama pembangunan. Rencana induk DKI Jakarta tahun 1977 menargetkan ruang terbuka hijau (RTH) minimal 30 persen dari luas wilayahnya. Dinas Pertamanan DKI Jakarta berhasil mencapai target penghijauan 50 persen, termasuk penghijauan tempat pemakaman umum.
RTH minimal 30 persen dari luas wilayah adalah hitungan ideal untuk sebuah kota. Saat ini RTH di Jakarta baru meliputi 9,9 persen. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta belum memiliki rencana induk RTH (Kompas, 14/9/2018).
RTH memberikan banyak manfaat dalam menjaga lingkungan hidup. Pepohonan sangat efektif menyerap gas pencemar sehingga memberikan peluang bagi udara menampung oksigen lebih banyak dan pemanasan udara oleh partikel-partikel yang ada di udara akan berkurang.
Pohon-pohon juga berperan menyerap air hujan ke dalam tanah. Fungsi ini bukan hanya untuk meresap air, melainkan juga mengurangi limpasan air hujan di permukaan tanah yang berpotensi menjadi banjir.
Menurut arsitek lanskap Nirwono Joga, 1 hektar RTH (taman kota, hutan kota, taman pemakaman, daerah penyangga kawasan industri), yang dipenuhi pepohonan, mampu menghasilkan 0,6 ton oksigen untuk dikonsumsi 1.500 penduduk per hari.
Kemudian, menyimpan 900 meter kubik air tanah per tahun, mentransfer air 4.000 liter per hari, menurunkan suhu 5-8 derajat celsius, meredam kebisingan 25-80 persen, dan mengurangi kekuatan angin sebanyak 75-80 persen (Kompas, 4/6/2005).
Dengan kesadaran bahwa kawasan pemakaman adalah juga RTH, pemerintah daerah tidak akan mudah menyulap pemakaman menjadi hutan beton untuk kawasan komersial. (LAM)