Inti deklarasi yang ditandatangani pada November 1971 di Kuala Lumpur menginginkan netralitas negara-negara ASEAN. Ditegaskan, kawasan Asia Tenggara merupakan wilayah damai, bebas dari pengaruh asing dan netral dari kekuatan pihak asing.
ASEAN yang waktu itu masih terdiri atas lima negara, yakni Indonesia, Filipina, Malaysia, Thailand, dan Singapura, berkehendak bersama agar Asia Tenggara tak boleh terpengaruh pihak asing serta harus damai dan netral dari kondisi politik luar negeri pihak asing.
Setelah 47 tahun berlalu, kondisi sudah demikian banyak berubah. ASEAN mempunyai tantangan baru, di antaranya adanya perang dagang yang terjadi di antara dua negara besar, Amerika dan China. Dalam pertemuan puncak ASEAN, beberapa waktu lalu, situasi ini masuk dalam pemikiran.
Perdana Menteri Lee Hsien Loong dalam penutupan acara di negaranya itu mengingatkan, keadaan ini membawa pengaruh di ASEAN, dalam arti negara-negara ASEAN harus memilih di antara keduanya. ”Saya berharap tidak demikian,” ucap Lee.
Banyak ahli berpendapat, perang dagang bisa terus berlanjut dan meningkat. Bahkan, perang ini bisa memicu konsekuensi lebih jauh dari sekadar perdagangan. Bukan tidak mungkin hal ini akan berimplikasi lebih jauh terhadap politik global dan keamanan.
Dan gejala ini tampaknya bukan lagi ilusi. Dalam sejumlah kesempatan, persaingan dua negara adidaya ini mewarnai banyak peristiwa. Pertemuan APEC di Papua Niugini belum lama berselang sampai tak menghasilkan kesepakatan apa pun. ”Perang” antara AS dan China telah mendominasi panggung.
Netralitas ASEAN yang digagas para pemimpin organisasi kawasan lebih dari empat dekade lalu bisa dikonkretkan menghadapi dua kekuatan besar Amerika dan China, Dalam hal konflik Laut China Selatan, negara-negara ASEAN perlu menagih janji China untuk menyelesaikan aturan tata tertib di wilayah itu.
Terhadap kekuatan AS, netralitas yang ingin dibangun ASEAN bisa diwujudkan antara lain dengan penolakan membangun pangkalan militer atau larangan penempatan kapal perang di kawasan ASEAN. (RET)