Wilayah hutan Indonesia sudah menjadi incaran investor sejak dulu. Pada 1967-1969, sejumlah perusahaan asing mendapatkan izin konsesi, di antaranya dari Perancis, Filipina, Amerika Serikat, Belanda, Jepang, dan Singapura.
Tiga perusahaan Perancis memperoleh izin konsesi di Sumatera seluas 100.000 hektar untuk membuka industri pemrosesan kayu. Sebuah perusahaan minyak AS juga mendapatkan konsesi seluas 100.000 ha di Riau. Perusahaan metal asal Belanda menggarap penambangan nikel di Kalimantan.
Sebuah perusahaan Jepang yang bergerak di bidang perkayuan beroperasi di Kalimantan dengan izin konsesi seluas 1.000.000 ha.
Konsesi terbesar yang pernah diberikan ketika itu mencapai 1,2 juta ha di Kalimantan Timur (Kaltim) kepada perusahaan Filipina milik warga negara AS. Kontrak karya yang berlaku selama 30 tahun ini digunakan untuk pengusahaan kayu integral (Kompas, 5 Desember 1969).
Perusahaan perambah hutan bukan hanya beroperasi di Sumatera dan Kalimantan, melainkan juga mengincar hutan-hutan di Sulawesi dan Maluku.
Hingga akhir tahun 1971, menurut data Direktorat Jenderal Kehutanan, sebanyak 84 perusahaan dari luar dan dalam negeri telah diberi izin konsesi seluas total 11.021.850 ha. Kaltim terbesar dengan wilayah konsesi 6.201.850 ha untuk 37 perusahaan yang mempunyai hak pengusahaan hutan (HPH).
Pada 2001, jumlah perusahaan HPH di Kaltim sudah meningkat menjadi 75 perusahaan dengan wilayah konsesi seluas 8,3 juta ha.
Laporan Forest Watch Indonesia tahun 2018 mencatat, Kaltim tetap menjadi provinsi dengan izin konsesi terluas, mencapai 8,6 juta ha atau 70 persen dari luas daratan provinsi tersebut.
Berikutnya adalah Maluku Utara dengan konsesi 1,4 juta ha atau 46 persen luas daratannya, serta Sumatera Utara dengan konsesi 1,1 juta ha atau 16 persen dari luas daratannya. Dibandingkan dengan tahun 1971, hanya dua perusahaan di Sumatera Utara dengan izin konsesi seluas 120.000 ha, sementara di Maluku empat perusahaan dengan areal konsesi seluas 337 ha. (LAM)