Indonesia membutuhkan bandar udara bertaraf internasional karena Bandara Kemayoran sudah tidak memadai lagi untuk melayani penumpang pesawat yang jumlahnya terus meningkat.
Sejumlah lokasi disurvei untuk pembangunan bandara baru tersebut, seperti perluasan di Kemayoran Jakarta, Malaka dan Babakan Jakarta Timur, Jonggol di tenggara Jakarta, Halim Perdanakusuma, Curug Tangerang, dan Cengkareng.
Pilihan akhirnya jatuh ke Cengkareng yang saat itu, tahun 1970-an, sekitar 20 persen wilayahnya masuk DKI Jakarta dan 80 persen masuk wilayah Tangerang, Jawa Barat. Namun, pilihan terhadap Cengkareng tidak mulus. Banyak penolakan dari masyarakat, terutama dari pemerhati lingkungan.
Alasannya, lokasi bakal bandara tersebut sangat dekat dengan cagar alam Pulau Rambut, Pulau Bokor, dan Pulau Dua.
Ketiga pulau tersebut merupakan habitat dari sekitar 30 jenis burung, termasuk burung khas, yakni burung ibis roko-roko (Plegadis falcinellus) dan pelatuk (Picus). Bahkan ribuan burung dari Madagaskar setiap tahun pada bulan-bulan tertentu bermigrasi menuju Australia dan singgah di ketiga pulau tersebut.
Meski mendapat penolakan, pembangunan bandara di Cengkareng berjalan terus. Pada 27 September 1980 Pemerintah Indonesia telah memutuskan pemenang tender pembangunan bandara adalah kontraktor dari Sainrat Et Brice, Perancis. Kontraktor tersebut bukanlah yang menawarkan harga paling murah, tetapi siap menerapkan teknologi ”cakar ayam” hasil karya bangsa sendiri.
Pembangunan bandara di Cengkareng dimulai 30 Juni 1981 dan diresmikan Presiden Soeharto pada Jumat, 5 Juli 1985. Bandara seluas 1.800 hektar ini kemudian diberi nama Bandara Soekarno-Hatta.
Bandara ini memiliki dua landasan, masing-masing sepanjang 3.660 meter dan 3.050 meter. Selain itu, bandara ini juga dilengkapi alat pemrosesan air limbah 4.000 meter kubik per hari, dua unit pembakar sampah 1.000 kilogram per jam, serta depo bahan bakar enam tangki, masing-masing berkapasitas 11.000 meter kubik. (THY)