Upaya meningkatkan mutu pendidikan dilakukan dengan beragam cara. Mulai dari penyusunan Kurikulum 1947, Kurikulum 1952, Kurikulum 1964, hingga kemudian dilakukan pula uji coba sekolah dasar delapan tahun pada akhir 1960-an, yang menghasilkan lulusan pertamanya pada 1973.
Dalam sistem belajar ini, siswa di kelas dibagi dalam kelompok yang beranggotakan 4-5 siswa. Kemampuan siswa dicampur sehingga yang cerdas bisa berkembang, sedangkan yang memiliki kemampuan terbatas menjadi lebih terpacu.
Pelajaran Bahasa Inggris dimulai sejak kelas III. Di sekolah juga diajarkan not balok, grafik, pengetahuan umum, dan materi lain yang mendorong siswa bergairah untuk belajar. Hingga 1973, SD delapan tahun ini mempunyai 400 siswa. Sayang, uji coba ini tidak jelas kelanjutannya.
Pemerintah memang sangat piawai dalam membuat konsep pendidikan, tetapi lemah dalam implementasi. Misalnya, selama 30 tahun terakhir sudah berkali-kali dilakukan perubahan kurikulum, tetapi tidak membawa perubahan signifikan terhadap kualitas pendidikan.
Kurikulum 1984, sebagai contoh, dinilai bagus karena menekankan pada cara belajar siswa aktif (CBSA), tetapi segera diubah menjadi Kurikulum 1994. Tak puas dengan kurikulum tersebut, muncul Kurikulum 2004 yang dikenal dengan nama Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK).
Hanya berumur dua tahun, kurikulum ini kemudian disempurnakan oleh kehadiran Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada 2006.
Kini diterapkan Kurikulum 2013 yang merupakan penyempurnaan dari KTSP 2006. Kurikulum baru ini diklaim sangat baik karena sudah mempertimbangkan tantangan masa depan anak didik, seperti persoalan globalisasi, lingkungan hidup, dan perkembangan teknologi informasi serta pembentukan karakter siswa.
Meski kurikulum sudah berganti, cara mengajar guru di depan kelas justru tidak berubah. Upaya meningkatkan kualitas guru tidak serius dilakukan. Tidak mengherankan jika kemudian kualitas pendidikan kita di kancah internasional tidak kunjung membaik. (THY)