Ketika harian Kompas menurunkan berita utama dengan judul ”Arafat Menolak Bertemu Kissinger” pada 13 Desember 1973, Yasser Arafat saat itu merupakan Pemimpin Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) yang oleh Amerika Serikat dan negara-negara Barat dianggap sebagai kelompok gerilyawan bersenjata.
Alasan Arafat menolak bertemu dengan Menteri Luar Negeri AS Henry Kissinger karena ia menganggap Kissinger sebagai representasi negara yang memberikan bantuan besar-besaran kepada Israel, musuh Palestina.
Tonggak pengakuan dunia internasional terhadap PLO terjadi ketika Arafat berpidato di Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 13 November 1974. Ia merupakan orang pertama yang berbicara di Majelis Umum PBB yang tidak mewakili negara anggota PBB.
Arafat membawakan pidato yang intinya meminta dukungan PBB untuk mewujudkan Palestina yang merdeka dan berdaulat di tanah airnya.
”Hari ini saya datang dengan membawa ranting zaitun dan senjata pejuang kemerdekaan. Jangan sampai ranting zaitun jatuh dari tangan saya. Saya ulangi: jangan sampai ranting zaitun jatuh dari tangan saya,” kata Arafat.
Setelah pidato itu, PLO memperoleh status sebagai observer di PBB dan hak Palestina untuk menentukan nasibnya sendiri diakui.
Inisiatif perdamaian Palestina-Israel terakhir kali dilakukan pada 2014 ketika Menlu AS John Kerry menjadi mediator. Namun, inisiatif itu kembali kandas sebelum masuk ke meja perundingan karena Palestina menganggap Israel tidak menghormati langkah-langkah yang telah disepakati sebelumnya.
Terpilihnya Presiden AS Donald Trump membawa proses perdamaian di Timur Tengah menemui jalan buntu. Trump secara unilateral mengakui Jerusalem sebagai ibu kota Israel dan tak lama kemudian memindahkan Kedutaan Besar AS dari Tel Aviv ke Jerusalem.
Langkah ini menimbulkan kemarahan dunia internasional, yang tecermin dalam Majelis Umum PBB. Pada Oktober 2018, majelis umum melakukan voting untuk memilih Palestina menjadi Ketua G-77.
Dalam pemungutan suara, 146 dari 193 negara mendukung Palestina, 15 negara abstain, dan hanya 2 negara yang berada di pihak AS yang menentang pencalonan Palestina, yaitu Israel dan Australia. Ini tamparan telak bagi pemerintahan Trump. (MYR)