Pajak anjing masih diterapkan di Jakarta hingga masa awal Orde Baru. Pajak dikenakan pada anjing yang umurnya lebih dari enam bulan. Tidak peduli jenisnya. Anjing herder, pudel, buldog, rottweiler, doberman, ataupun jenis lainnya, dikenai tarif sama Rp 20 setiap tahun per anjing pada tahun 1965.
Sebagai gambaran, saat itu harga beras Cianjur Rp 350 per liter dan harga daging sapi Rp 2.750 per kilogram. Nama pemilik anjing harus terdaftar. Di Kantor Bendahara Kota di Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, ada ruangan bertuliskan ”Padjak Anjing” untuk warga yang akan membayar pajak anjing miliknya. Pembayaran dilakukan setiap Januari-Februari dan jika terlambat akan dikenai denda 50 persen.
Jika lalai, maka akan datang surat peringatan ke rumah yang disampaikan petugas pos. Namun, hingga Agustus 1965, hanya 3.200 pemilik yang sudah membayar pajak anjing miliknya. Padahal, jumlah anjing di Jakarta saat itu sekitar 15.000 ekor (Kompas, 10 September 1965).
Selain mengenakan pajak anjing, ada pula aturan anjing yang berkeliaran di jalan harus ditutup mulutnya agar tidak menggigit. Leher anjing harus dirantai yang panjangnya maksimal dua meter, serta anjing harus divaksin dua kali setahun.
Selain itu, Pemerintah DKI Jakarta juga rajin menyisir jalan-jalan Ibu Kota untuk menangkap anjing liar tanpa peneng. Anjing yang tertangkap akan ditampung.
Jika seminggu pemiliknya tidak ada yang mengambil, anjing itu akan dibunuh dan dagingnya untuk makanan hewan buas di Kebun Binatang Ragunan.
Operasi penangkapan anjing liar gencar dilakukan di Jakarta karena saat itu serangan penyakit rabies, terutama akibat gigitan anjing, masih marak. Sebagai gambaran selama tahun 1969, tercatat ada 1.280 orang yang berobat ke Bio Farma Bandung karena penyakit anjing gila atau rabies. Korban yang berobat paling banyak dari Jawa Barat, tetapi korban asal Jakarta jumlahnya juga terus bertambah. (THY)