Ketika jatuh dari kursi presiden, kondisi fisik-kejiwaan Soekarno tak seindah kata-kata yang pernah dilontarkannya, bahwa ”gantungkanlah mimpi-mimpimu setinggi langit. Kalaupun nanti jatuh, engkau jatuh di antara bintang-bintang.”
Ternyata kejatuhan Bung Karno amat menyakitkan. Setelah pidato pertanggungjawabannya ditolak MPRS pada 1967, Soekarno diberhentikan melalui Sidang Istimewa. Setelah itu, Bung Karno melewati hari-hari panjang memilukan.
Jangankan aktivitas politik, aktivitas sehari-hari saja pun dilarang. Soekarno (Bung Karno) tak bebas menemui siapa saja, sebaliknya orang yang hendak bertemu Bung Karno juga dilarang. Sangat ironis untuk seorang presiden yang pejuang sekaligus proklamator RI.
Bahkan, untuk urusan tempat tinggal saja, penguasa baru di bawah Presiden Soeharto pun mengaturnya. Penguasa Orde Baru menetapkan bahwa rumah tinggal Bung Karno di Jalan Gatot Subroto, Jakarta. Rumah di Batutulis, Bogor, sebagai tempat peristirahatan.
Pendek kata, gerak-gerik Bung Karno dibatasi dan diawasi, dan itu melalui keputusan yang dikeluarkan pemerintah pada 2 Januari 1969. Larangan itu dikeluarkan Pelaksana Khusus Kopkamtibda Jawa Barat Mayjen HR Dharsono, yang juga Panglima Kodam Siliwangi, seperti disampaikan Kapendam Siliwangi Mayor Endang Rusman di Bandung, 14 Januari 1969.
Keputusan itu melarang Dr Ir Soekarno memasuki dan meninggalkan daerah Jawa Barat kecuali atas izin tertulis Laksus Kopkamtibda Jabar. Keputusan itu juga melarang setiap orang di Jabar untuk mengunjungi Bung Karno, kecuali keluarga atau petugas resmi yang dipekerjakan mengurus Bung Karno.
Hari-hari begitu panjang dialami Bung Karno, mantan presiden dan sang pembebas negeri ini yang sepanjang hidupnya selalu dekat dengan rakyat. Bung Karno ”dibuang” di rumahnya sendiri.
Namun, namanya politik tiada kawan abadi. HR Dharsono pun pada akhir hayatnya juga menerima nasib semirip Bung Karno, disisihkan oleh penguasa Orde Baru. Ia mendekam lima tahun di penjara karena dituding subversif melawan kekuasaan Presiden Soeharto. (SSD)