Ketika demam berdarah dengue pertama kali ditemukan di Surabaya tahun 1968, angka kematiannya mencapai 41,4 persen. Dari 58 orang yang tercatat terinfeksi, 24 meninggal (Pusat Data Informasi Kementerian Kesehatan, 2016).
Meski angka kematian terus menurun—tahun 2017 menjadi 0,75 persen menurut Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan—demam berdarah dengue atau DBD masih menjadi penyakit yang ditakuti.
Demam berdarah disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui nyamuk Aedes aegypti. Ada empat strain virus yang menginfeksi manusia sejak 100-800 tahun lalu, terutama di Asia Tenggara dan Afrika.
Virus dengue menyebar cepat seiring kemajuan teknologi transportasi dan mobilitas manusia. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kalau sebelum tahun 1970 hanya sembilan negara terjangkit, kini DBD menjadi penyakit endemik di lebih dari 100 negara.
Sebenarnya, upaya mencegah infeksi DBD tak kurang-kurang, terutama di sisi pemberantasan nyamuk. Namun, setelah 50 tahun, infeksi DBD tetap tinggi. Tahun 2017 masih 59.047 kasus dengan 444 kasus meninggal.
Upaya lain adalah membuat vaksin DBD, yang sudah dirintis sejak 1970 di Fakultas Kedokteran Universitas Buenos Aires, Argentina.
Namun, karena ada empat strain virus dengue—melebihi virus polio dan cacar—sulit mengisolasi dan membentuk antigen dalam prosesnya. Kendala lain adalah sulit mencari binatang percobaan yang reaksinya mirip manusia terhadap dengue.
Akibatnya, WHO baru mengesahkan penggunaan vaksin DBD tahun 2016. Vaksin ini bukan dari Universitas Buenos Aires, melainkan hasil penelitian Sanofi-Pasteur, Perancis.
Meski demikian, kapasitas produksi masih terbatas karena Sanofi baru mampu memproduksi 100 juta dosis vaksin per tahun, sementara kebutuhannya satu miliar dosis untuk lima tahun (Time, 15/4/2016).
Kendala berikutnya adalah harga vaksin masih relatif mahal, Rp 1 juta per dosis dan hanya boleh untuk usia di atas 9 tahun. Oleh karena itu, pemberantasan DBD tidak boleh hanya mengandalkan vaksin. (NES)