Pada 1978 diperkirakan ada 100 penderita gangguan jiwa yang dipasung di Bali, baik karena alasan adat, keamanan, maupun ketiadaan biaya berobat ke rumah sakit jiwa. Pemasungan atau mebelagbag saat itu dianggap sebagai salah satu upaya pengobatan.
Lebih dari tiga dasawarsa kemudian, data Kementerian Kesehatan per Desember 2014 menunjukkan, dari estimasi 57.000 kasus pasung di Indonesia, baru 5.846 orang atau 10 persen yang dilepas dan ditangani tenaga kesehatan.
Sebagai upaya meniadakan praktik pemasungan, pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa yang juga mengatur sanksi hukum terhadap pelaku pemasungan dalam Pasal 86.
Sesuai hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, terdapat 1,7 per 1.000 penduduk Indonesia atau sekitar 400.000 penderita skizofrenia atau psikosis.
Menurut analisis Sri Idaiani dan Raflizar dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan terkait Riskesdas 2013 yang dimuat dalam Buletin Penelitian Sistem Kesehatan Volume 18, Januari 2015, status ekonomi merupakan faktor paling dominan pada pemasungan orang dengan gangguan jiwa berat, seperti skizofrenia.
Keluarga miskin tidak memiliki biaya untuk membawa penderita berobat, tidak tahu ada fasilitas kesehatan, misalnya rumah sakit pemerintah dan puskesmas. Selain itu, hampir setengah dari rumah tangga itu tinggal di perdesaan.
Penelitian Guru Besar Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Luh Ketut Suryani dan kolega (2011) di Bali mengungkapkan, penderita gangguan jiwa yang dipasung atau diisolasi umumnya akibat kegagalan pengobatan tradisional serta sistem kesehatan terhadap pasien gangguan jiwa yang masih berpusat pada rumah sakit seperti model lama.
Menurut Suryani, dengan pendekatan pengobatan modern berbasis masyarakat serta memasukkan unsur budaya setempat, penderita menjadi lebih baik.
Hasil terapi yang dilakukan tim Suryani Institute for Mental Health kepada sekitar 600 penderita gangguan jiwa sejak 2005, 30 persen bisa sembuh total dan kembali ke masyarakat. Sisanya masih harus minum obat.
Di negara berkembang, penanganan gangguan jiwa belum jadi prioritas. Namun, kesehatan mental dipandang sangat penting di tataran internasional. Organisasi Kesehatan Dunia memasukkan upaya kesehatan jiwa sebagai salah satu Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. (ATK)