Di Indonesia, pangan selalu diidentikkan dengan beras. Sebagai makanan pokok sebagian besar rakyat Indonesia, gangguan pada beras, baik harga yang meroket maupun gangguan pada produksi, akan menjadi gangguan pada ketahanan pangan.
Bahkan, pada 1997/1998 saat terjadi krisis ekonomi, harga beras yang meroket menimbulkan kerawanan sosial, yang membahayakan stabilitas ekonomi dan stabilitas nasional.
Oleh karena itu, setiap rezim pemerintahan negeri ini berupaya menjaga stabilitas harga beras, yang jamak dilakukan melalui operasi pasar (OP). Badan Urusan Logistik (Bulog) menjadi lembaga yang sejak era 1960-an hingga kini menjadi ”tangan” pemerintah menjaga stabilitas harga dan stok beras. Namun, tidak selalu OP Bulog bisa mencapai sasaran.
Pada 1973, misalnya, OP Bulog di Jawa Timur gagal. OP dilakukan saat daya beli masyarakat sangat rendah sehingga berapa pun harga beras OP, masyarakat tak mampu membelinya (Kompas, 26 Januari 1973).
Kegagalan OP juga terjadi pada awal 2018. Niat pemerintah meredam harga beras agar tidak melonjak melebihi harga eceran tertinggi (HET) tidak tercapai. Masyarakat enggan membeli karena kualitas beras OP dinilai buruk.
Sejak 1970-an ada tiga strategi dasar OP beras yang dilakukan Bulog. Pertama, untuk menurunkan harga agar sesuai dengan ketetapan pemerintah. Strategi ini membutuhkan kesiapan stok yang besar dengan berbagai jenis beras yang dikehendaki pasar.
Strategi kedua adalah menahan agar harga tidak naik dari kondisi harga terakhir pasar. Hal ini dilakukan apabila tidak memiliki cadangan yang cukup dan tidak memiliki semua jenis beras yang dikehendaki pasar.
Ketiga, strategi HET mengambang. Ini dilakukan apabila cadangan beras pemerintah tidak cukup banyak untuk melakukan penetrasi terhadap pasar.
Pada tahun politik ini, seyogianya pemerintah lebih mempersiapkan diri menjaga stabilitas ketersediaan dan keterjangkauan pangan, khususnya beras.
Dengan begitu, potensi kerawanan sosial yang bersumber dari pangan dapat dihindarkan. (ely)