Awal tahun 1978, Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik Sutami menyatakan, semua sungai di Pulau Jawa dalam kondisi rusak. Secara kasatmata, menurut Sutami, tampak sehat-sehat saja, tetapi kenyataannya sungai-sungai itu dalam keadaan sakit.
Penggundulan hutan di wilayah hulu mengakibatkan daerah resapan itu tidak lagi mampu menahan air hujan. Erosi menyebabkan sedimentasi yang mendangkalkan sungai sehingga air sungai meluap membanjiri permukiman dan lahan pertanian di sepanjang daerah aliran sungai (DAS).
Awal 2013, Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto menyatakan, banyak sungai di Indonesia dalam kondisi sakit. Ciri-cirinya, saat hujan banjir di mana-mana, saat kemarau tidak ada air.
Awal 2019, kondisi sungai tidak semakin baik. Peristiwa terakhir adalah banjir besar di Sulawesi Selatan yang merendam beberapa wilayah, termasuk Kota Makassar, akibat luapan Sungai Jeneberang. Ribuan warga mengungsi.
Menurut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulsel, DAS Jeneberang berstatus kritis dan mengancam keselamatan warga. Hasil riset yang dilakukan Walhi Sulsel menunjukkan, dari total luas 78.480 hektar area DAS Jeneberang, luas area resapan air saat ini hanya tinggal 16,8 persen. Sisanya, 83,2 persen, telah beralih fungsi menjadi lahan pertanian dan permukiman.
Karena penyebabnya adalah kerusakan lingkungan, sungai-sungai yang sakit memerlukan restorasi, selain penghijauan kembali wilayah tangkapan air.
Restorasi dibutuhkan untuk mengembalikan fungsi ekologis bantaran sungai. Sesempit apa pun bantaran sungai, perannya sangat penting dalam siklus hidup berbagai jenis kehidupan air.
Restorasi dilakukan dengan memulihkan ekosistem bantaran sungai melalui rehabilitasi habitat, pengayaan jenis vegetasi khas bantaran. Upaya tersebut perlu didukung sosialisasi untuk menumbuhkan kearifan masyarakat sekitar bantaran sungai. (LAM)