Ali Sadikin adalah gubernur kesembilan bagi Jakarta sejak Indonesia merdeka. Dia juga bukan pembuat masterplan Jakarta yang sudah ada sejak Jakarta dipimpin Gubernur Sudiro (1953-1960). Tapi, Bang Ali-lah yang mulai merealisasikan, mengubah Jakarta dari sekadar kota warisan penjajah menjadi metropolitan.
Dia bangun Proyek Senen, Taman Ismail Marzuki, Kebun Binatang Ragunan, Taman Impian Jaya Ancol, Taman Ria Monas, Taman Ria Remaja, kota satelit Pluit, atau kawasan budaya Condet.
Untuk melengkapi kehidupan Jakarta sebagai Ibu Kota dari sisi ekonomi, dia canangkan sarana hiburan serta promosi dagang industri barang dan jasa Pekan Raya Jakarta yang digelar setiap tahun hingga sekarang. Dia perbaiki sarana transportasi Jakarta, dia bangun halte dan terminal serta rute bus kota hingga opelet.
Dia perbaiki dan revitalisasi kawasan perkampungan. Bang Ali adalah gubernur pertama yang sangat sadar bahwa yang juga dibangun di Jakarta adalah manusia, budayanya, rohnya.
Lelaki kelahiran Sumedang, Jawa Barat, itu justru gigih mengangkat berbagai aspek budaya Betawi sebagai ikon Jakarta, seperti lenong, topeng betawi, ondel-ondel, dan kerak telor. Dia membangun dan tegas. Warga miskin selalu dipikirkannya. Rakyat mencintainya.
Meski mengandalkan peran swasta dalam membangun Jakarta, Bang Ali tidak bisa ”disetir” pengusaha. Dia justru menjadi sutradara andal sehingga penetapan kawasan hijau, perumahan, perkantoran, dan industri sangat jelas serta tidak dilanggar. Dia bahkan secara kontroversial menetapkan kawasan judi serta kawasan pelacuran dan hiburan malam sebagai sumber pendapatan pemda.
Setelah tak menjabat, Bang Ali aktif menyumbangkan pikiran buat Jakarta, termasuk mengkritik kebijakan Orde Baru. Dia menjadi anggota Petisi 50, kelompok yang kritis terhadap Presiden Soeharto pada Mei 1980. Soeharto geram.
Bang Ali dikenai persona nongrata. Dia dilarang tampil di acara resmi apa pun. Jangankan acara nasional, acara RT pun tak boleh dihadirinya. Dia dicekal ke luar negeri, tak boleh dapat pinjaman bank. Dia dimatikan secara perdata hampir dua dekade. Dia baru bebas sebagai warga negara setelah 1998, era reformasi. (NUG)