Pada awal pemerintahan Orde Baru, masalah pendidikan dasar mendapat perhatian serius. Maklum saja, saat itu pada awal tahun 1970-an, masih banyak anak-anak yang tidak bisa menikmati pendidikan dasar dengan berbagai alasan. Mulai dari jarak ke sekolah yang jauh, tidak ada biaya, hingga harus membantu orangtua bekerja.
Di sisi lain, Indonesia saat itu mendapat berkah yang luar biasa dari produksi dan kenaikan harga minyak. Karena itulah pemerintah berupaya membangun sekolah dasar (SD) secara besar-besaran di berbagai pelosok. Tujuannya memperluas kesempatan sekolah bagi warga di perdesaan serta bagi warga perpenghasilan rendah di perkotaan.
Berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 1973 tentang Program Bantuan Pembangunan Gedung Sekolah Dasar, pada tahap pertama tahun 1973 dibangun 6.000 gedung SD di sejumlah daerah. Setiap sekolah terdiri dari tiga ruang kelas, satu ruang guru, kamar kecil, serta perabot sekolah, seperti meja dan kursi.
Karena landasan pembangunannya berdasarkan instruksi presiden, sekolah yang baru dibangun tersebut dikenal masyarakat sebagai SD inpres.
Pada tahap kedua tahun 1974 juga dibangun 6.000 gedung SD. Adapun tahap ketiga tahun 1975, berdasarkan Inpres Nomor 6 Tahun 1975, dibangun 10.000 gedung SD berikut pembangunan fasilitas air bersih, penyediaan guru, buku, dan perpustakaan. Pada 1977/1978, pembangunan gedung SD sangat besar, yakni 15.000 gedung SD di sejumlah daerah.
Bukan cuma pembangunan fisik, pemerintah saat itu juga menyusun buku berbagai mata pelajaran yang kemudian dicetak sekitar 179 juta buku. Buku-buku ini selanjutnya dibagikan ke semua SD inpres secara gratis.
Meski instruksinya diberikan secara gratis, kenyataannya banyak sekolah yang menjual buku tersebut kepada murid. Bahkan, banyak pula oknum sekolah yang menjual buku tersebut ke pasar dengan harga murah. (THY)