Bencana memang tidak bisa dihindari. Akan tetapi, dari kejadian bencana kita bisa belajar agar selanjutnya, dalam berbagai aspek, kita lebih berhati- hati.
Kecelakaan pesawat, misalnya, bukan kali ini terjadi. Tahun 1967, sebagai contoh, sudah ada kecelakaan pesawat yang menyebabkan 21 penumpang tewas.
Seperti diberitakan Kompas, 18 Februari 1967, terjadi kecelakaan pesawat Garuda Indonesia Electra GA 708 Borobudur yang terbakar di Bandara Mapanget, Manado.
Pesawat itu sebelumnya terbang dari Bandara Kemayoran menuju Manado melalui Surabaya dan Makassar pada 15 Februari 1967. Di Surabaya, pesawat bisa mendarat dengan selamat, tetapi saat di Makassar, pesawat tidak bisa mendarat karena cuaca buruk. Pesawat dengan 84 penumpang dan 8 awak itu kemudian kembali ke Surabaya dan bermalam.
Keesokan harinya, pesawat kembali terbang ke Makassar dengan selamat. Namun, saat melanjutkan penerbangan dan mendarat di bandara Mapanget, Manado, badan pesawat mendarat keras di landasan kemudian terbakar.
Dalam keadaan panik, penumpang keluar melalui pintu darurat. Sebanyak 47 orang bisa menyelamatkan diri. Namun, 21 penumpang tewas dan 9 orang luka-luka. Semua awak pesawat selamat.
Garuda Indonesia sebelumnya memiliki tiga pesawat Electra buatan Lockheed Corporation Amerika Serikat, yang masing-masing diberi nama Danau Toba dan Pulau Bali. Dengan terbakarnya pesawat buatan tahun 1961 ini, Garuda Indonesia tinggal memiliki dua pesawat Electra.
Setahun kemudian, tepatnya 28 Mei 1968, pesawat Jet Convair 990-A Garuda Indonesia Padjadjaran jatuh di Bombay. Pesawat itu terbang dari Jakarta 27 Mei pukul 18.00 untuk tujuan Eropa dan transit di Bombay.
Baru lima menit tinggal landas dari Bandara Santa Cruz, Bombay, pesawat itu jatuh dan menimpa empat rumah pada pukul 04.20. Semua penumpangnya yang berjumlah 15 orang dan 14 awak meninggal. Dunia penerbangan berduka. (THY)