Sebutan big village bagi Kota Jakarta mulai berganti menjadi kota metropolitan pada tahun 1970-an. Jakarta ketika itu mulai dihuni beragam bangsa asing yang membaur dalam kehidupan sehari-hari. Paling menonjol adalah bertambahnya warga negara Jepang yang menetap di Jakarta seiring peningkatan penanaman modal asing (PMA) asal Jepang di Indonesia.
Harian Kompas, Jumat, 23 September 1977, menyebutkan bahwa warga Jepang di Indonesia bertambah 2,5 kali selama periode 1973-1976 karena membanjirnya PMA. Secara rinci, jumlah orang Jepang di Jakarta pada tahun 1973 hanya 1.121 orang, kemudian tahun 1974 menjadi 1.636 orang, tahun 1975 menjadi 2.122 orang, dan akhirnya pada tahun 1973 menjadi 2.895 orang.
Wajar jika ada kesimpulan bahwa warga Jepang semakin betah di Indonesia karena hampir 40 persen PMA di Indonesia dari Jepang seperti judul berita harian Kompas, Sabtu, 19 Februari 1977. Nilai dari porsi investasi PMA Jepang bahkan mencapai 2.578,7 juta dollar AS dari total nilai investasi PMA di Indonesia yang waktu itu mencapai 6.825,3 juta dollar AS.
Sementara itu, jumlah usahanya pada waktu itu mencapai 25 persen dari jumlah perusahaan PMA di Indonesia selama periode 1967 hingga Januari 1977, yaitu sebanyak 208 perusahaan dari total 855 perusahaan PMA. Begitu banyaknya perusahaan asal Jepang memperlihatkan bahwa Indonesia sudah menjadi tempat investasi idaman bagi pemodal Jepang.
Lalu, bagaimana hari ini? Jepang merupakan investor terbesar kedua bagi Indonesia setelah Singapura. Dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), tercatat PMA dari Jepang pada Januari-September 2018 mencapai 3,75 miliar dollar AS. Investasi Jepang di Indonesia hanya kalah dari Singapura yang mencapai 6,7 miliar dollar AS.
Orang-orang Jepang yang tinggal di Indonesia berusaha di berbagai bidang. Mereka datang karena iklim investasi yang kondusif. Kita pun berharap warga Jepang semakin betah di Indonesia sehingga membawa lebih banyak modalnya ke Indonesia. (BOY)