Suksesi kepemimpinan nasional dari Soekarno kepada Soeharto meninggalkan jejak sejarah yang penuh misteri. Setelah gonjang-ganjing politik pascatragedi 30 September 1965, Presiden Soekarno tidak sendirian di pucuk kekuasaan karena ada Letjen Soeharto, Menteri Panglima Angkatan Darat, yang menjadi pemegang mandat Supersemar.
Supersemar adalah perintah Presiden Soekarno pada 11 Maret 1966 yang menginstruksikan Soeharto selaku Pangkopkamtib untuk mengambil tindakan yang dianggap perlu guna memulihkan keamanan dan ketertiban. Dengan Supersemar, kewenangan Soeharto sangat besar, sementara Soekarno makin dibatasi.
Namun, kondisi itu dianggap dualisme kepemimpinan nasional yang dapat menghambat stabilitas politik dan ekonomi. Karena itu, pada 19 Februari 1967, digelar rapat penting antara Presiden Soekarno dan empat Panglima Angkatan Bersenjata di Istana Bogor.
Rapat itu, menurut berita Kompas (20/2/1967), diduga membahas konflik politik, khususnya posisi Presiden Soekarno yang dianggap sumber dualisme itu. Menurut Radio Mahasiswa Djakarta, dalam rapat itu Presiden Soekarno menyatakan kesediaan untuk mundur.
Sebagai pejabat presiden ditetapkanlah Soeharto yang merupakan pengemban Supersemar/Ketua Presidium Kabinet/Menteri Utama Hankam. Kabarnya, Soekarno minta diperbolehkan mengumumkan suatu dekrit dan tetap menjadi Pemimpin Besar Revolusi. Namun, permintaan itu ditolak Soeharto.
Kabar kemunduran Soekarno itu pun menjadi isu yang menghebohkan. Akan tetapi, tak ada pihak yang bersedia memberikan konfirmasi. Sumber-sumber resmi mengaku belum menerima laporan, bahkan para panglima yang hadir tak mau buka mulut seusai rapat. Hasil rapat itu tetaplah penuh rahasia. Yang jelas, tiga pekan kemudian, Soekarno benar-benar lengser. (ssd)