Dalam kurun waktu 44 tahun, Indonesia berubah status dari pengimpor menjadi pengekspor semen. Pada 1974, Indonesia harus impor 1,4 juta ton semen untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri (Kompas, 23 Februari 1974). Tahun 2018, situasi berubah 180 derajat, produksi semen berlimpah mencapai 110 juta ton, padahal konsumsi dalam negeri hanya sekitar 75 juta ton.
Melimpahnya pasokan semen sudah terjadi sejak 2014. Peningkatan produksi tidak diimbangi dengan peningkatan permintaan dari dalam negeri.
Tahun 2017, misalnya, produksi meningkat 34 juta ton, sementara permintaan hanya naik 7 juta ton dari tahun sebelumnya. Pembangunan infrastruktur gencar dilakukan, tetapi belum mampu menyerap seluruh produksi semen.
Upaya untuk ”melempar” semen Indonesia ke pasar internasional sudah dilakukan, tetapi belum signifikan untuk menyerap kelebihan produksi.
Tahun 2018, ekspor semen Indonesia mencapai 2,93 juta ton, yakni 1,13 juta ton berupa semen jadi dan 1,8 juta klinker. Pasar ekspor baru juga terus dikembangkan, antara lain ke Australia, Bangladesh, dan Filipina.
Saat ini Indonesia menjadi produsen semen terbesar di Asia Timur, disusul Vietnam, Jepang, dan Korea Selatan.
Meningkatnya produksi semen Indonesia seiring dengan bertambahnya jumlah pabrik semen di dalam negeri. Pada 1974 hanya ada tiga pabrik, sementara tahun 2018 jumlahnya mencapai 13 pabrik semen, bahkan diperkirakan masih akan bertambah.
Oleh karena itu, Asosiasi Semen Indonesia (ASI) melontarkan gagasan agar dilakukan moratorium pemberian izin baru pembangunan pabrik semen. Hal ini telah dilakukan oleh Thailand dan Vietnam.
Kebijakan tersebut untuk menjaga agar industri semen tidak terpuruk, yang akan berdampak pada terganggunya penyelesaian kewajiban keuangan pabrik. Ini karena investasi pabrik semen biasanya menggunakan utang perbankan sebagai sumber pendanaannya. (Ely)