Jika melihat negara-negara penghasil minyak di Afrika yang rakyatnya tetap miskin, kita akan percaya adanya ”kutukan” minyak bumi. Namun, kita yakin kutukan itu tidak benar jika membaca kisah Dumai, yang awalnya hanya sebuah desa nelayan, lalu menjadi pintu gerbang devisa bagi Indonesia pada akhir 1960-an.
Hal itu terlihat khususnya setelah perusahaan Amerika Serikat, Caltex Pacific (sekarang Cevron), menjadikan Dumai sebagai pelabuhan minyak terbesar di Asia Tenggara lewat peresmian dermaga minyak kedua yang dapat disandari kapal berukuran 150.000 DWT.
Seperti diberitakan Kompas, Senin, 26 Februari 1968, dermaga minyak pertama dibangun tahun 1958, sedangkan dermaga kedua diresmikan pada 22 Februari 1968.
Berapa banyak devisa yang diterima Indonesia dari ekspor minyak mentah lewat Pelabuhan Dumai pada waktu itu? Menurut perjanjian kontrak karya antara Caltex dan Pemerintah Indonesia cq Pertamina, 60 persen buat pemerintah dan 40 persen buat Caltex setelah dikurangi biaya. Adapun jumlah yang diekspor sebanyak 75 persen dari total minyak yang dihasilkan.
Tingkat produksi minyak mentah Indonesia pada masa itu sedang berada di puncak, mencapai 1,2 juta barel per hari (bph). Indonesia beberapa kali memperoleh rezeki nomplok dari minyak seperti pernah dialami tahun 1974 ketika pecah perang Arab-Israel tahun 1973, revolusi Islam Iran tahun 1979, dan invasi Irak ke Kuwait tahun 1990. Pada era itu, negara-negara penghasil minyak mendapat windfall profit (keuntungan berlipat-lipat) akibat naiknya harga minyak.
Pada hari ini, industri perminyakan nasional sudah memprihatinkan, produksi minyak mentah Indonesia berada di titik nadir, yakni di bawah 1,0 juta barel per hari. Indonesia menjadi negara importir neto sehingga kenaikan harga minyak justru menimbulkan tekanan pada APBN, nilai tukar rupiah, dan ekonomi. (BOY)