Pemanfaatan ramuan tanaman sebagai obat telah dikenal sejak lama di Nusantara. Relief sejumlah candi memperlihatkan kegiatan pembuatan jamu. Dalam perkembangannya, meski para dokter Belanda menunjukkan minat pada tanaman obat, kemudian di zaman Jepang, sebagian dokter menggunakan jamu karena obat langka. Sampai tahun 1975 jamu masih dipandang sebelah mata oleh kalangan medis.
Menurut Guru Besar Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Erni H Purwaningsih dalam ”Jamu, Obat Tradisional Asli Indonesia: Pasang Surut Pemanfaatannya di Indonesia” yang dimuat di eJournal Kedokteran Indonesia, Volume 1 Nomor 2, Agustus 2013, kebangkitan jamu terjadi pada 2007.
Kebangkitan ini terwujud dengan terbitnya Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 381/Menkes/SK/III/2007 tentang Kebijakan Obat Tradisional serta Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1109/Menkes/PER/IX/2007 tentang Penyelenggaraan Pengobatan Komplementer-Alternatif di Fasilitas Pelayanan Kesehatan. Hari Kebangkitan Jamu Indonesia diresmikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Merdeka pada 27 Mei 2008.
Posisi jamu diperkuat dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yakni pada Pasal 48 Ayat 1(2). Keluar pula Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 261/Menkes/SK/IV/2009 tentang Farmakope Herbal Indonesia.
Selanjutnya, terbit Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 003/Menkes/PER/I/2010 tentang Saintifikasi Jamu dalam Penelitian Berbasis Pelayanan Kesehatan. Ini upaya membuktikan secara ilmiah bahwa jamu efektif untuk indikasi penyakit tertentu.
Tahun 2012, setelah empat kali ikut konferensi Herbal Medicine se-ASEAN, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengevaluasi serta menyusun pedoman uji klinik khusus jamu/obat tradisional Indonesia.
Pada 19 November 2018, Kepala BPOM Penny K Lukito serta Direktur Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Muhammad Dimyati menandatangani nota kesepahaman untuk mengawal penelitian serta pengembangan obat dan makanan di Indonesia. Kepala BPOM menekankan, Indonesia kaya akan keanekaragaman hayati yang berpotensi untuk pengembangan produk farmasi, obat tradisional termasuk fitofarmaka, dan produk natural lain. (ATK)