Pelayanan kereta api yang dirasakan membaik sekarang ini tidak terlepas dari beragam inovasi yang terus dilakukan. Padahal, sebelumnya, perusahaan yang didirikan 1864 ini dikenal tidak efisien dan jumlah karyawannya sangat gemuk.
Harian Kompas, 28 Februari 1972, misalnya, melaporkan, jumlah karyawan Perusahaan Djawatan Kereta Api (PDKA) saat itu sekitar 80.000 orang dan akan dikurangi menjadi 74.000 orang, kemudian akan dikurangi lagi menjadi 50.000 orang.
Pengurangan jumlah karyawan tidak terlepas dari mekanisasi sistem perkeretaapian yang dilakukan saat itu. Sebagai contoh, penggunaan rem angin (air brake) sebelumnya harus dilakukan secara manual.
Setiap tiga gerbong ada seorang petugas rem. Jumlah petugas harus ditambah jika perjalanan kereta api melewati pegunungan. Setelah dilakukan mekanisasi, sistem pengereman cukup dilakukan oleh masinis.
Begitu pun bidang persinyalan, setiap tiga wesel di stasiun dibutuhkan seorang petugas. Padahal, di stasiun kecil terdapat empat wesel, sedangkan di stasiun besar bisa sampai ratusan. Melalui mekanisasi persinyalan, semuanya bisa dilakukan secara otomatis sehingga tenaga manusia tidak lagi dibutuhkan.
Akibat banyaknya jumlah pegawai saat itu, sekitar 60 persen pendapatan PDKA atau PJKA digunakan untuk gaji pegawai. Adapun alokasi biaya untuk rehabilitasi sarana perkeretaapian sangat minim.
PJKA, yang kemudian berubah menjadi Perumka (1991-1998) lalu PT Kereta Api Indonesia (1998 hingga sekarang), terus melakukan inovasi. Jumlah karyawan dikurangi hingga menjadi sekitar 30.000 orang.
PT KAI pun mengembangkan beragam bisnis selain angkutan penumpang, yakni barang (angkutan batubara, bahan bakar minyak, hantaran paket, semen, dan sebagainya), wisata, perhotelan, properti, dan beragam bisnis lainnya.
Tidak heran jika pendapatan PT KAI terus meningkat. Tahun 2017, misalnya, pendapatan PT KAI sekitar Rp 17 triliun dan 2018 mencapai Rp 19,9 triliun. Adapun laba bersih 2017 tercatat Rp 1,7 triliun. (THY)