Program pemindahan penduduk di Indonesia sebenarnya sudah berlangsung sejak zaman kolonial Belanda pada awal abad ke-19. Namun, tujuannya bukan untuk menyejahterakan masyarakat, melainkan untuk kepentingan bisnis dan ekonomi pemerintah kolonial.
Karena itu, dikirimlah secara bergelombang ratusan ribu penduduk Jawa untuk mengolah lahan perkebunan kolonial di sejumlah tempat di Sumatera.
Puncak pengiriman penduduk terjadi sekitar tahun 1930 ketika lebih dari 250.000 penduduk Jawa dikirim ke Sumatera untuk mengerjakan sistem tanam paksa atau cultuurstelsel. Warga dipaksa bekerja di perkebunan karet, kopi, tebu, dan berbagai komoditas lain.
Pada awal Orde Baru, pemindahan penduduk yang dikenal sebagai transmigrasi ditujukan, antara lain, untuk penyebaran penduduk agar tidak terlampau padat di Jawa, memacu pembangunan daerah di luar Pulau Jawa, dan menyejahterakan penduduk. Sebagai iming-iming, setiap keluarga mendapat rumah, lahan seluas 2 hektar, sarana pertanian, dan jatah hidup.
Meski demikian, dalam praktiknya, program ini banyak masalah. Di banyak tempat, misalnya, rumah yang dijanjikan tidak layak huni karena sangat sederhana dan hanya berdinding papan.
Lahan seluas 2 hektar yang dijanjikan belum siap untuk diolah karena masih berupa hutan belantara. Begitu pun jatah hidup berupa beras dan lauk- pauk, kondisinya sangat buruk. Belum lagi pemaksaan saat ikut transmigrasi.
Belum lagi lokasi transmigrasi yang umumnya sangat sulit dijangkau dari kota terdekat serta tidak ada fasilitas penunjang, seperti jalan, sekolah, dan puskesmas. Meski demikian, banyak juga transmigran yang sukses.
Pada masa reformasi, ada beberapa jenis transmigrasi, tetapi semuanya fokus untuk kesejahteraan masyarakat, memajukan daerah, dan bersifat sukarela. Penyelenggaraannya pun kini lebih baik karena calon transmigran mendapat bekal persiapan yang lebih matang. (THY)