Rencana pernikahan Beatrix Wilhelmina Armgard, Putri Oranje-Nassau dari Kerajaan Belanda, dengan mantan diplomat Jerman, Claus von Amsberg, 10 Maret 1966, ditentang rakyat ”Negeri Kincir Angin” itu. Benci dan marah muncul karena faktor Jerman, yang pernah menduduki Belanda.
Jerman dibenci karena membantai sekitar 100.000 warga Belanda selama lima tahun (1940-1945) semasa Perang Dunia II. Belanda amat menderita di bawah rezim Nazi-Jerman yang dipimpin Adolf Hitler.
Warga Amsterdam juga membenci pribadi Claus karena Claus pernah aktif dalam organisasi pemuda Nazi. Ia pernah terlibat dalam barisan Anak Muda Jerman (Deutsches Jungvolk), Pemuda Hitler (Hitler-Jugend), dan Angkatan Bersenjata Nazi-Jerman (Wehrmarcht).
Gejolak dimulai tiga hari menjelang pernikahan. Massa berdemonstrasi menolak pernikahan Beatrix dengan Claus. Bahkan, kereta pernikahan dilempari bom asap oleh kelompok anarkis Provo. Bentrok massa dengan polisi tak terhindarkan.
Kerusuhan terparah terjadi pada 30 April 1980, saat Beatrix berusia 42 tahun, tepatnya saat dia dinobatkan sebagai ratu menggantikan ibunya, Juliana. Bentrokan dengan aparat pun menjadi brutal.
Namun, pendekatan ratu baru yang luwes dan tegas segera menarik hati rakyatnya. Beatrix mengubah cara penyebutan ”madam” menjadi ”yang mulia” dan menolak untuk hanya melakukan tugas pengguntingan pita.
”Bukan kekuasaan, keinginan pribadi, atau klaim atas kekuasaan turun-temurun, melainkan kehendak untuk melayani masyarakat bisa memberi substansi pada monarki modern,” kata Beatrix saat ia naik takhta, seperti dilaporkan kantor berita AFP, 30 April 1980.
Beatrix menjadi ratu selama 33 tahun. Pada 30 April 2013, saat berusia 75 tahun, ia menanggalkan gelar ratu dan menjadi putri lagi dengan menyerahkan takhta kepada putra tertuanya, Willem-Alexander, Raja Belanda kini. Selama bertakhta, Beatrix merebut hati rakyatnya dan dicintai. Ia memberi monarki citra modern. (CAL)