Cukai rokok sejak lama sudah menjadi sumber pendapatan negara. Pada awal Orde Baru, misalnya, banyak rokok yang dijual, tetapi tidak disertai dengan cukai atau disebut ”rokok polos” sehingga negara dirugikan.
Berbagai razia dilakukan, mulai dari warung, toko, hingga pabrik pembuatan rokok, tetapi rokok ilegal, yakni rokok yang tidak disertai pita cukai, tetap saja banyak beredar.
Karena itu, mulai 1 April 1976, pemerintah mewajibkan semua rokok, baik rokok kretek, rokok putih, maupun rokok impor, wajib ditempeli pita cukai. Mereka yang mengedarkan rokok tanpa cukai akan dihukum dan dianggap penyelundup (Kompas, 11 Maret 1976).
Pengenaan pita cukai saat itu semata-mata untuk pendapatan negara, sedangkan aspek kesehatan masyarakat diabaikan. Tak heran jika pemerintah merasa bangga dengan kenaikan produksi rokok.
Tahun 1972, misalnya, produksi rokok dalam negeri sekitar 22 miliar batang dan tahun 1975 pemerintah mengumumkan produksi rokok sudah naik menjadi 35 miliar batang dengan jumlah perokok 17,5 juta orang.
Pendapatan Bea dan Cukai tahun anggaran 1975/1976 sebesar Rp 400 miliar dan Rp 160 miliar atau sekitar 40 persen di antaranya berasal dari cukai rokok.
Jumlah perokok terus meningkat. Tahun 2018, jumlah perokok aktif lebih dari 62 juta orang. Mengacu Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016, sebanyak 54,8 persen lelaki muda berusia 15-25 tahun adalah perokok.
Di sisi lain, penerimaan negara dari cukai rokok juga terus meningkat. Dari penerimaan Bea dan Cukai 2018 sebesar Rp 204,5 triliun, sebanyak Rp 159,7 triliun di antaranya berasal dari cukai rokok dan Rp 6,4 triliun dari cukai minuman keras.
Menteri Kesehatan Nila Moeloek menyebutkan, biaya kesehatan yang dikeluarkan untuk penyakit terkait rokok pada 2015 mencapai 2,1 miliar dollar AS. Ironisnya lagi, kini dana yang diperoleh dari cukai rokok sekitar Rp 5 triliun dimanfaatkan untuk menambal defisit yang dialami Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Rokok memang kontroversial. (THY)