Setahun lalu, 8 Maret 2018, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri mengemukakan perlunya negara ini memiliki kembali Garis-Garis Besar Haluan Negara sebagai panduan ideal arah politik pemerintahan untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Dalam orasi ilmiah saat menerima gelar doctor honoris causa bidang politik pemerintahan dari IPDN, Megawati menegaskan bahwa laju pembangunan nasional akan memiliki arah yang jelas lewat GBHN (Kompas, 9/3/2018).
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Zulkifli Hasan menyambut gagasan Megawati yang juga Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Sepekan kemudian, unsur pimpinan MPR dan BPIP bertemu. MPR dan BPIP sepakat untuk mengonsultasikan amendemen terbatas terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) dengan presiden bersama partai politik yang memiliki kursi di parlemen.
Kewenangan MPR untuk menetapkan GBHN telah dicabut melalui amendemen UUD 1945. Tidak ada lagi GBHN yang selama era Orde Baru menjadi pedoman rencana pembangunan nasional.
Amendemen UUD 1945 menguatkan sistem pemerintahan presidensial. Presiden tidak lagi bertanggung jawab kepada MPR. Sebelum perubahan UUD 1945, MPR adalah lembaga tertinggi negara, yang menjalankan seluruh kedaulatan rakyat Indonesia, termasuk mengangkat presiden dan wakil presiden.
Setelah GBHN dihapus, pemerintah membuat Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) yang dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional.
Wacana pengembalian GBHN melalui amendemen terbatas UUD muncul karena SPPN dinilai kurang mengakomodasi tujuan pembangunan nasional. Presiden dan wakil presiden yang dipilih untuk masa jabatan lima tahun, dalam kebijakan pembangunan, cenderung mengacu pada program dari partai politik pengusungnya. Setelah mereka menjabat, maksimal dua periode, kebijakan pembangunan akan berganti lagi.
GBHN dibutuhkan agar pembangunan oleh pemerintah pusat ataupun daerah lebih terarah dan berkelanjutan. (LAM)