Banjir di Jakarta bukan cerita baru. Pada awal Orde Baru, banjir yang melanda Ibu Kota bisa merendam sekitar dua pertiga wilayah Jakarta selama berhari-hari.
Banjir yang terjadi pada 10 Februari 1970, misalnya, bisa dicatat sebagai salah satu banjir besar di Jakarta dalam 20 tahun terakhir. Hujan deras sepanjang malam menyebabkan banjir merendam lebih dari separuh wilayah Jakarta dan yang terparah, antara lain, di Grogol, Tomang, serta sekitar Jalan Thamrin, Sudirman, dan Semanggi.
Saat itu banjir juga merendam Rumah Sakit Jakarta setinggi 2 meter sehingga 43 pasien dipindahkan ke RS Cipto Mangunkusumo dan RS Persahabatan. Banjir juga melumpuhkan Ibu Kota karena listrik padam di sejumlah wilayah.
Untuk mengatasi banjir, Pemerintah DKI Jakarta sebenarnya sudah membangun beberapa waduk penampung air dan pengendali banjir. Waduk Pluit di Jakarta Utara, misalnya, dibangun pada 1960 seluas 80 hektar (kini tinggal 60 hektar), kemudian Waduk Melati di dekat Jalan Thamrin dibangun pada 1966 seluas 8 hektar serta Waduk Setiabudi yang dibangun pada 1969 seluas 5 hektar.
Meski demikian, keberadaan waduk-waduk itu tidak optimal karena terjadi pendangkalan hebat dan sebagian waduk diokupasi untuk permukiman.
Untuk mengatasi banjir, pada awal 1975 juga dibangun Waduk Sunter di Jakarta Utara seluas 80 hektar. Areal waduk sebelumnya berupa empang dan rawa-rawa yang dijadikan tambak oleh masyarakat. Untuk mencapai kedalaman waduk 7-10 meter dikerahkan kapal keruk dan bor pengisap lumpur milik perusahaan Amerika Serikat.
Selain membangun waduk, pada awal 1970-an Pemerintah DKI Jakarta juga melakukan normalisasi Kali Krukut dan Kali Cideng untuk mengatasi banjir.
Upaya mengatasi banjir terus dilakukan hingga kini, termasuk melakukan normalisasi Sungai Ciliwung yang menjadi salah satu penyebab banjir di Jakarta. Namun, selain berbagai upaya fisik tersebut, peran masyarakat juga dibutuhkan, antara lain dengan tidak membuang sampah ke sungai. (THY)