Kiprah Sutan Sjahrir tidak bisa terlepas dari sejarah perjuangan bangsa, terutama di awal lahirnya republik ini. Sjahrir, yang mendapat julukan Bung Kecil, merupakan tiga serangkai dengan Bung Besar (Ir Soekarno) dan Bung Hatta.
Sjahrir, yang dilahirkan di Sumatera Barat pada 1909, sudah aktif dalam perjuangan kemerdekaan sejak usia muda. Ketika usianya 23 tahun dan masih belajar di Nederland, ia kembali ke Tanah Air untuk memperjuangkan kemerdekaan dan memimpin partai politik.
Tahun 1934, ketika usianya baru 25 tahun, Sjahrir dibuang ke Boven Digoel, kemudian diasingkan ke Banda Neira bersama Mohammad Hatta, dan baru dibebaskan pada 1942, sebelum Jepang menduduki Indonesia.
Pada 14 November 1945 atau empat hari setelah Surabaya dibombardir tentara Sekutu, Sjahrir menjadi Perdana Menteri Kabinet Parlementer Indonesia saat usianya baru 35 tahun. Ia merangkap sebagai menteri luar negeri. Sjahrir adalah tokoh yang meletakkan dasar politik luar negeri Indonesia bebas aktif.
Sjahrir juga seorang diplomat ulung. Setelah Agresi Militer Belanda I, Sjahrir pergi ke Lake Success, Amerika Serikat, sebagai wakil Indonesia untuk memperjuangkan kedudukan RI di muka mimbar Dewan Keamanan PBB.
Saat Agresi Militer II pada Desember 1948, Sjahrir ditawan Belanda bersama Soekarno dan Haji Agus Salim, kemudian dibuang ke Berastagi dan Parapat.
Sesudah penyerahan kedaulatan pada Desember 1949, Sjahrir tidak lagi memegang jabatan resmi di pemerintahan kecuali memimpin partai politik.
Fitnah keji Partai Komunis Indonesia (PKI), yang dimotori Subandrio, menyebabkan Sjahrir ditangkap pada 15 Januari 1962 dan ditahan di Jakarta, kemudian dipindah ke rumah tahanan militer di Madiun. Sjahrir dibawa ke Jakarta setelah terserang stroke.
Atas izin Presiden Soekarno, Sjahrir berobat ke Zurich, Swiss. Namun, kesehatannya terus memburuk dan ia meninggal pada 9 April 1966. Presiden Soekarno kemudian menetapkan Sjahrir sebagai Pahlawan Nasional. ”Bung Kecil” dinilai memiliki jasa yang luar biasa besar terhadap bangsa dan negara. (THY)