Mobilitas penduduk Jakarta yang tinggi menjadi berkah bagi hampir 100.000 becak (tahun 1971) di Jakarta. Penghasilan pengemudi becak berkisar Rp 300-Rp 400 per hari dengan dipotong setoran Rp 130 per hari. Hasil ini lebih baik dibandingkan dengan pekerjaan lainnya meski tenaga yang dikeluarkan besar.
Kebijakan menghapus becak ada sejak Orde Lama. Presiden Soekarno pernah meminta Gubernur DKI Jakarta Dr Sumarno agar mulai 1 Januari 1965, Jakarta bebas becak. Polisi lalu tak lagi memberikan surat izin mengemudi (SIM) becak baru, termasuk larangan pembuatan becak baru. Nyatanya, becak tidak berkurang.
Pada 6 November 1971, Gubernur DKI Ali Sadikin lewat SK No Bd 15/11/35/71 menetapkan daerah bebas becak (DBB). Semua daerah yang tergolong di pusat kota, seperti Menteng, Diponegoro, Salemba, dan Kota, dinyatakan tertutup bagi becak.
Menurut Komandan Polisi Lalu lintas Komdak VII Metro Jaya AKBP Pramudarjono, penerapan keputusan gubernur dimulai 1 Desember 1971. Sebanyak 400 anggota polisi dikerahkan untuk mengamankan DBB tahap pertama di daerah yang berbatasan dengan jalan-jalan: Medan Merdeka Barat-Gajah Mada-Sukarjo Wiryopranoto-Samanhudi-Gunung Sahari–Dr Sutomo-Pos-Medan Merdeka Timur dan Medan Merdeka Selatan.
Untuk mendukung aturan DBB dan mengisi ”kekosongan” becak, Gubernur mengeluarkan surat keputusan tarif bemo di dalam DBB, yaitu maksimal Rp 50 untuk setiap perjalanan (rit). Di luar DBB, maksimal Rp 75. Saat itu, di Jakarta hanya ada 1.230 bemo dan 300 helicak yang diharapkan bisa menggantikan becak yang jumlahnya diperkirakan 92.800 unit.
Kenyataannya, bemo enggan masuk ke DBB karena lebih senang berada di luar DBB yang tak terikat tarif. Seorang sopir bemo di Rawasari berkomentar, ”Dulu kami disuruh menyingkir, sekarang digiring masuk lagi.” Temannya, sesama sopir, menambahkan, ”Kan, bemo bebas beroperasi seperti becak. Kalau saya pilih mondar-mandir di luar daerah larangan, apa salah?” (JPE)